Kurusetra sudah panas. Gerah yang menyusup bukan saja datang dari terik siang. Tapi juga suhu politik yang kian genting. Baratayuda sudah di bibir pintu.
Oleh: Ki Bawang Dalang Tanpa Wayang
Gerah yang sama juga memanggang hati Adipati Karno. Sulung Kunthi ini sedang menghadap sembah pada ibundanya itu. Ia takjim, ngapurancang, menunduk mendengar petuah Kunthi.
“Anakku Karno, tinggalkan Kurawa, bergabunglah dengan adik-adikmu. Pandawa adalah kebenaran. Rakyat ada di pihak kita,” kalimat itu diucap lembut, kelembutan khas seorang ibu yang membujuk sekaligus merajuk.
“Tidak Kanjeng Ibu. Maafkan anakmu ini. Bukan ksatria kalau saya meninggalkan Astina yang telah memberi penghidupan,” Karna tak kalah lembut menjawab, meski isi kalimatnya menusuk Khunti yang ditampik.
“Hamba, anakmu yang malang ini, datang ingin sungkem, menghaturkan sembah, mohon restu, untuk menjadi Senapati utama Kurawa.”
“Aduh ngger. Apa tega engkau berbunuhan dengan adik-adikmu sendiri?”
Hening. Diam yang mencekam membuat Adipati Karno bisu. Hanya airmatanya yang menetes. Airmata yang sama mengalir di pipi Kunthi, ibu yang harus rela anaknya saling bertanding.
Dalam diam, Karno mengankat sembah, menyentuh lutut Kunthi, lalu berlalu. Hanya angin kesedihan yang kemudian menerpa wajah Khunti. Tangisnya pecah. Membelah angkasa, mengirim duka di langit. Kurusetra menyongsongnya sebagai tabuh peperangan.
Sikap Adipati Karna ya Surya Atmaja dalam pakeliran adalah contoh sikap utama para ksatria. Bersama Bambang Sumantri dan Kumbakarna, ia adalah Tripama. Kepada mereka semestinya para politisi belajar budi. Jika negara terancam, bahkan oleh tangan-tangan anak bangsanya sendiri, negara yang telah memberinya hidup itu yang harus dibela. Bukan sebaliknya, malah membelot dan membela lawan.
Adipati Karna, Kumbakarna, dan Sumantei merupakan tiga contoh keutamaan ksatria. Sebab, darmanya seorang ksatria adalah menghindari keculasan. Ia tak pernah cidra dan selalu konsisten pada komitmen. Tidak peduli berada di tempat yang salah. Ia tahu ada di tempat salah, tapi justru perannya adalah memberi harmoni.
Barangkali sangat bisa, Karna membela Pandawa, tapi ia memilih konsisten pada Kurawa yang telah mengangkat derajat serta memberi penghidupan. Drama Adipati Karna sebagai Tripama, rasanya kontekstual dengan politik yang tengah dimainkan para politisi yang hatinya mudah digoda drajat-pangkat.(*)