Hari ini, 22 Maret, adalah hari penting buat pecinta kesenian di Jogjakarta. Bagi praktisi karawitan, pedalangan, dan kesenian Jawa, 22 Maret selalu diperingati dengan khusuk untuk mengenang Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo.
KRT Madukusumo merupakan direktur Sekolah Pedalangan Habirandha. Ia juga pecipta banyak cakepan, tembang, dan gending yang legendaris. Lahir pada 22 Maret 1899, Madukusumo ialah putra Ngabehi Prawiroreso.
Lalu kemarin, 21 Maret, para penggiat sastra, pecinta budaya, serta pemerhati seni, memperingati Hari Puisi Dunia. Sehari sebelumnya, pada 20 Maret pandemen seni dan sastra Indonesia memperingati ulangtahun ke-78 penyair paling kondang, Sapardi Djoko Damono.
Saat ini, Sapardi Djoko Damono adalah sastrawan Indonesia paling senior, setelah Taufiq Ismail yang lahir pada 27 Juni 1934. Sapardi lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Penyair yang sak barakan alias satu generasi tapi lebih muda adalah Danarto yang kelahiran 27 Juni 1940.
Dan, meski tidak sekolah dalang di Habiradha Jogjakarta, Sapardi ternyata pintar mendalang. Kedatangannya ke Jogja, selepas SMA, adalah masuk Fakultas Sastra dan Budaya di UGM. Kecintaanya pada pedalangan, menurun dari kakeknya yang seorang abdi dalem Kraton Kasunanan Surakarta.
Begitu masuk UGM, naluri kreatif Sapardi langsung melejit. Ia memang sudah senang menulis sejak SMA. Maka selama kuliah, tulisan-tulisannya mulai bertebaran di media massa. Sapardi memang sosok istimewa di jagad sastra Indonesia. Dalam usianya yang panjang, banyak pencapaian diraih. Ia juga seorang akademisi dengan gelar Profesor.
Buku pertamanya, berupa kumpulan puisi terbit pada tahun 1969. Sejak itu, hingga saat ini, hampir 30 kumpulan puisi ditulis. Satu judul puisi bahkan sangat populer, di kalangan luas tidak hanya penikmat sastra, berjudul Aku Ingin. Puisi yang ditulis pada 1989 itu menjadi bagian penting dalam buku kumpulan puisi berjudul Hujan Bulan Juni yang terbit tahun 1994.
Dalam banyak liputan kebudayaan, saya sering bertemu Pak Sapardi yang ramah khas piyayi Solo. Tapi yang tidak pernah terlupakan adalah peristiwa budaya pada 10 Februari tahun 1999.
Saat itu, Yayasan Obor menggelar simposium yang menghadirkan nyaris semua sastrawan Indonesia. Selain ada Sapardi Djoko Damono, yang saya ingat adalah Mohammad Sobary, serta Romo Mangun.
Hari itulah, Rabu Legi, hari meninggalnya YB Mangungwijaya atau Romo Mangun. Seniman Jogjakarta terkemuka ini, mendapat serangan jantung sebelum seminar usai pada istirahat makan siang.
“Pasti serangan jantung kalau mendadak seperti itu,” kata Pak Sapardi saat kami membicarakan peristiwa mengejutkan yang baru saja terjadi, kala itu, ketika sama-sama turun melalui lift.(kib)