Mahatmanto, Penyair Angkatan 45 dari Kulon Progo yang Hampir Terlupakan

oleh -3043 Dilihat
oleh

Nama Mahatmanto seolah tenggelam diantara nama-nama besar Angkatan ’45 lainnya, bahkan di sekolah jarang guru mengajarkankannya. Seorang penyair kebanggaan Kulon Progo penyair Pelopor Yogyakarta yang belum banyak dikenal orang bahkan namanyapun asing di telinga kita.

Yatin Suwarno 
Bidang Kajian dan Rekomendasi Bakor PKP

Mahatmanto, terlahir tanggal 11 Agustus (versi lain 13 Agustus) 1924 di Desa Kulur, Kapanewon Temon, Kadipaten Adikarta (sekarang Kabupaten Kulon Progo). Nama sebenarnya adalah R. Suradal Abdul Manan, di kampung biasa dipanggil om Suradal. Mahatmanto sebenarnya memiliki nama lengkap Bandoro Raden Bagus Tuwan Saiyid Sulaiman Suradal Adil Arif Agung Adikartono Abu Chalis Mahatmanto Murbaningrat al Ahlabi.

Adapun di dalam karya-karyanya sering mengggunakan nama samaran Abu Chalis, Murbaningsih, Murbaningrat, Murbaningrad, SA Murbaningrad, Moerbaningsih, Sang Agung, Suradal, dan Sri Armajati Murbaningsih.

Beliau putra dari seorang keluarga priyayi Bandoro Kiai Raden Abdulmanan, seorang sufi yang berguru pada Saiyid Baharudin dari Suriah yang ada di Singapura pada tahun 1810. Mahatmanto menyelesaikan pendidikan formalnya di Madrasah Muhammadiyah dan pernah belajar ilmu Agama di Pondok Darul Ulum, Sewugalur, Kulon Progo. Beliau suka berkelana mencari jatidiri dari berguru mendalami agama islam dari satu pesantren ke pesantren yang lain.

Mahatmanto gemar mengembara ke berbagai kota dan berbagai pondok, mulai tertarik pada dunia politik tahun 1938. Mahatmanto pernah bekerja sebagai editor di Mimbar Indonesia saat dipimpin HB Jassin. Ia pernah juga bekerja di Budaya Jaya saat dikelola Ajip Rosidi hingga ia menyatakan berhenti kerja pada 1977.

Beliau selain menulis puisi juga seorang pelukis dan membuat seni pahat patung yang di jual di Bali. Beliau hidup berpindah pindah dengan sepeda onthel pada akhir tahun 1990, beliau pernah tinggal di tempat saudaranya di Sewu Galur, di Ksatrian, di Kriyanan Durungan, Bantul, Bandung, dan kerap menengok kampung halamannya di Kulur Temon.

Setiap singgah di suatu tempat Mahatmanto tidak menggunakan nama aslinya, kadang menggunakan nama Den Suradal Abdul Manan, Sulaiman, Abu Calis dll beliau juga di kenal sebagai seorang wali sufi menurut kiai kiai di daerah Galur. Mahatmanto meninggal di Banjarnegara pada tahun 1997 dalam usia 73 tahun tidak mempunyai istri. Tetapi karena minimnya informasi belum diketahui letak di mana beliau di makamkan.

Mahatmanto dikenal sebagai penulis cerpen dan puisi, Beliau sastrawan yang cukup produktif, tidak kurang telah dihasilkan 30 cerpen dan 65 puisi. Karya-karya cerpennya dimuat dalam Madjalah Nasional (1950-1953), Spektra (1950), Mimbar Indonesia (1952), Siasat (1952), dan Duta Suasana (1953). Adapun karya-karya puisinya antara lain dimuat dalam Majalah Indonesia (1940), Pandji Poestaka (1944), Pantja Raja (1947), Mimbar Indonesia (1947-1950), Majalah Arena (1948), Majalah Hikmah (1950-1953), dan Majalah Zenith (1950-1953). Berikut salah satu karya puisinya. Berikut ini, salah satu puisi Mahatmanto.

LANGGAR KULUR

Jarum jam ‘lah diam
Tiada bergerak berdetak lagi.
Surau sunyi ditinggalkan santri
pergi tiada kembali
Tembok gigis,
atap tiris.
Kolam kering. Lantai berdebu
Tiada sapu.
Dingin lembab, gelap,
tiada berlampu.
Aku berbisik, berat, perlahan
dalam sembahyang memuja Tuhan.
Angin bertiup, masuk, merayap,
seperti hantu.

Berdesir daun kelapa menyinggung atap,
jatuh genting berdering
pecah, sepuing-puing.
Terkejut, tertegun puja samadi.
Ampun, Tuhanku……………………
Surau sunyi ditinggalkan santri
kemana mereka pergi?
Entah tiada atau kembali lagi……………….
selama itu aku seorang diri…………………..

 

Catatan: Penulisan ulang dengan penyesuaian bahasa, tanpa mengubah susunan

 (diolah dari berbagai sumber).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.