ACI 8: Pathet 6 Diserimpung Mendung

oleh -270 Dilihat
oleh

Perjalanan kesedihan Indrajit seperti aliran kali yang tiap siang dan sore ia lewati. Kadang memamerkan momoknya saat banjir dengan air keruh menakutkan. Di lain waktu, mewujud dalam air tenang tapi menyimpan marabaya.

Kemarin, hatinya berhias banjir bandang, sehingga muncul amok untuk menyudahi hari-harinya yang butek dengan pindah sekolah. Ia sudah pada keputusan pergi, oleh karena tak mampu menampung luapan banjir kesedihan. Tapi hari ini, aliran air di hatinya, anteng.

Ia ingat kalimat Pak Sum, saat berpapasan sebelum pulang tanpa daya. Hanya kata-kata pendek yang diucapkan, tapi tumancep, mengendap, merayap memberi semi baru di hatinya. “Kamu itu baru pathet 6. Siapkan diri untuk yang lebih regeng, lebih gayeng, lebih mat-matan di pathet 9. Sudah,” kata orang tua bekas pasukan Tentara Pelajar yang menjalahi hidup dengan sangat ayem sebagai pesuruh di sekolah tengah sawah itu.

Sepanjang sore, malam, kemudian pagi berganti, tak berhenti Indrajit mencerna kalimat Pak Sum. Kalimat yang riuh bergemuruh dalam perdebatan dengan hatinya sendiri. Kalimat yang kemudian membentur kalimat lain milik Pak Bagus, guru karawitan yang mengharuskan memandang hidup dengan roso.

“Nabuh gamelan itu harus pakai rasa, seperti memandang hidup juga harus dengan rasa,” semua siswa yang ikut ekstrakulikuler karawitan paham dengan doktrin itu. Kesalahannya, setiap soal dipahami dengan cara pandang serba penuh perasaan. Akibatnya, menjadi melankoli, selalu terbawa perasaan, mudah disakiti hatinya.

Tapi, di siang yang terang, Indrajit njumpalit riang. Hatinya benderang, setelah kalimat Pak Sum yang memenangi pertarungan dalam batinnya. Selanjutnya,  selesai sudah  semua urusan kesedihan. Dadanya kembali jembar, lapang menerima segala rasa sakit yang sepanjang kemarin, membuat sesak. Ia meninggalkan rumah dengan langkah yang ringan, menyusuri embong, pinggiran kali yang ia pandangi berair jernih, mengalir, membawa bayangan matahari yang memantulkan cahaya keperakan.

Pohon krangkungan di sepanjang bibir kali, ia sepak-sepaki, seperti ingin menendang radang di hatinya. Tidak. Ia tidak lagi bersedih. Ayunan kakinya juga lebih mudah, tidak dikepung mendung yang menyerimpung.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.