Hanya setahunan lebih, sesungguhnya, Indrajit di sekolah tengah sawah itu. Tapi ada bara yang terus menggerus isi hatinya. Tak berkesudahan bahkan hingga berpuluh tahun kemudian. Ia tak pernah menduga, menjadi murid sekolah yang menumpang, memberinya penderitaan yang berlipat.
Ia masih selalu ingat, sekolah itu mewah untuk ukuran desanya. Lengkap dengan predikatnya sebagai sekolah favorit. Semua anak pintar, temannya waktu SD, memilih masuk di sekolah ini. Hanya ada satu teman yang agak aeng dengan memilih sekolah favorit lain di Wates. Selebihnya, semua diterima di sekolah dengan bangunan aneh ini. Dari situ saja, Indrajit sudah sangat terpencil dalam pergaulan di rumah, karena tidak masuk barisan anak pintar.
Dalam bayangannya, masuk SMP favorit itu menyenangkan. Gedungnya bagus meski agak ajaib, sehingga memberi imajinasi liar. Atapnya lancip dengan penangkal petir seperti sungut semut yang siap mengabarkan marabahaya dari langit.
Terdiri dari 10 gedung, ia berdiri megah di tepi sawah, persis di pinggir jalan besar. Jalan utama Jogja-Purworejo. Entah siapa yang membangun gedung serba tak biasa itu, sehingga menghadap ke utara. Tidak ada penjelasan filosofis, mengapa SMP yang kondang top ini menghadap utara, menjadikan Menoreh sebagai beranda depan, berhias Merapi di sisi kanan.
Benar. Jika pagi cerah, hamparan bukit barisan Menoreh, seperti pagar desa yang gagah. Sementara dari arah timur laut, Merapi menyisakan kepulan asap, lamat-lamat menebar gawat. Tapi bangunan menghadap utara sangat jarang, karena ada pantangan memunggungi segoro kidul. Sebagai kawulo Mataram, sudah semestinya memberi hormat pada penguasa laut selatan, dengan menghadapkan semua rumah dan gedung ke selatan.
Semua rakyat Mataram paham, rumah atau bangunan yang menghadap utara sehingga dengan sendirinya mungkuri segoro kidul, akan tidak baik. Jika ia rumah, selalu congkrah penghuninya. Jika ia tempat usaha, akan sepi dan bangkrut dalam waktu cepat. Tapi SMP ini, mengapa justru menjadi favorit meski memunggungi laut selatan? Aneh.
Tapi tidak. Tidak ada yang aneh bagi Pak Sum. Ia ingat, pria tua bekas anggota tentara pelajar yang memilih menjadi pesuruh itu, menyebut ada empat pohon rahasia yang ditanam di empat sisi gedung. Pohon itulah yang menjadi penjaga agar tidak terjadi guncangan kosmis. Empat pohon yang dipakai sebagai soko guru spiritual yang Pak Sum enggan menunjukannya, ada di mana serta pohon apa yang ditanam saat membangun gedung itu. (bersambung)