Sore meranggas di tepian Tegal Kurukasetra. Palagan perang Baratayuda itu, senyap setelah malam menjelang. Para prajurit Kurawa dan bala Pandawa sedang merenungi kelelahan yang memuncak. Lelah oleh perang yang seperti sangat panjang, berat tak berkesudahan.
Oleh ki Bawang Dalang tanpa wayang
Perang semestinya sudah mau selesai. Baratayuda tinggal menunggu babak kedua. Tapi rasanya, perang seperti sudah berlangsung amat lama. Juga yang dirasakan oleh para prajurit yang tinggal beberapa orang. Kurawa pun, satu demi satu menjadi tumbal Kurukasetra. Hanya Sengkuni dan Duryudana yang tersisa. Mereka, raja dan pepatih Astina yang di ambang kekalahan.
Suasana pesanggrahan Astina mulai kosong. Kematian Prabu Salya, tokoh sakti mertua raja Astina itu, membuat pupus harapan Duryudana ya Suyudana ya Jakapitana. Raja para Kurawa itu, dicekam perasaan takut. Sebab, tak ada satu tokoh sakti yang kini dimiliki Kurawa selain dirinya dan sang paman, Patih Sengkuni.
Dan, tidak ada pilihan. Sengkuni ya Tri Kantalpati, tokoh inti Kurawa itu, harus maju ke palagan Kurusetra. Gilirannya telah tiba. Giliran adu tanding dengan para Pandawa yang selama ini menjadi obyek kelicikannya. Tapi dendam yang digembol Sengkuni tak kalah berat. Sepanjang hidup, ia memendam rasa sakit di hati, sejak dikalahkan Pandu Dewanata dalam sayembara memperoleh Dewi Kunthi. Sejak hari itulah, ia mengobarkan api kesumat, termasuk kepada anak-anak Pandu.
Begitulah. Sengkuni naik kereta perang, menghujani pasukan Pandawa dengan segala senjata. Ia adalah senapati di masa muda, jadi untuk urusan mengolah senjata, tak kalah dengan ksatria yang lain. Ia terus menerjang, saat Bimasena yang menghadang menariknya untuk adu tanding. Tapi seperti tak tersentuh senjata sakti apapun, Sengkuni meladeni Bima. Gada Rujakpolo, senjata andalan Sena, tak mempan. Begitupun Kukupancanaka yang selama ini dibanggakan sang Werkudara.
Sengkuni memang tokoh sakti, yang kulitnya terlindungi oleh minyak tala. Bima ingat, Sengkuni bergulingan ke tanah saat lenga tala tumpah menjadi rebutan Kurawa dan Pandawa, puluhan tahun silam. Itu yang membuat semua kulit Sengkuni tak mempan senjata apapun, karena sudah terlindungi lenga tala milik Begawan Abiyasa.
Kepada Bima yang kebingungan, Sri Kresna membisikkan dua tempat yang tak sempat terolesi lenga tala. Mulut dan dubur. Dua tempat itulah, selanjutnya Bima mengarahkan senjatanya. Ia memiting Sengkuni, mengempit di ketiak, kemudian mengujani mulutnya dengan ketajaman Pancanaka. Setelah itu, Bima mengelupas kulit patih para Kurawa itu, sambil mengingat dosa-dosa Sengkuni: membuat Pandawa terusir karena kalah dadu, membuat Pandawa sengsara dalam Balai Sigala-gala, membuat Pandawa kehilangan Indraprasta, serta serangkaian peristiwa yang membuat Pandawa berada dalam hidup nestapa.
Lakon ini, lakon yang membuat miris para pecinta wayang. Tragis, mengerikan, tapi sekaligus membuat mangkel. Sengkuni adalah sumber bancana dan peperangan yang terjadi antara Pandawa dan Kurawa. Lakon ini juga menandai babak akhir Baratayuda.
Saya menulisnya sambil memahami situasi menjelang Pilkada hari-hari ini. Hari-hari ketika dosa-dosa masa lalu diungkit, dibaca ulang, untuk kemudian dijadikan alat menjatuhkan lawan-lawan politik, tak peduli dosa itu belum tentu benar adanya.(*)