Mas Petruk Menanti Pilres

oleh -107 Dilihat
oleh

Baiklah. Baratayuda memang sedang menititi saat-saat keramat. Babak demi babak memilukan sudah terjadi. Sementara para senapati perang berguguran, bagai dibawa bandang banjir kali Ciliwung.

Menghela nafas sejenak, mari minggir di pinggir Kurusetra yang basah, bosah-baseh. Santai sebentar, menemui Kiai Petruk yang sedang memandang kosong, bersebelahan dengan Kiai Gareng dan Mas Bagong. Mereka merenungi nasib para ksatria yang pernah diasuhnya.

Nasib buruk yang menjadi tumbal perang saudara trah Barata. Sebagai Punakawan, mereka bertiga ditambah ki Lurah Semar, adalah pemomong calon-calon pemimpin, sejak zaman lama hingga kelak setelah Baratayuda selesai. Sebuah tugas abadi demi harmoni.

“Ya itu Kang Gareng, kita ini hanya rakyat kecil, tapi tetap tidak bisa mengindari terlibat dalam perang. Kita benci ini, tapi wajib ikut dan berpihak pada salah satu pihak,” Petruk bicara pelan, dengan mata masih memandang kosong Kurusetra.

“Kalau saya yang penting, bisa ngawula pada pemimpin yang baik.” Bagong yang biasanya ngomong asal, tiba-tiba punya prinsip yang bagus.

“Ah, kita ini apa to le, mendingan ayo nembang, menghibur diri,” giliran Gareng yang bicara, acuh mengajak dua adiknya kekuar dari himpitan suasana mencekam Baratayuda.

Tapi tentu saja tidak akan ada tetembangan. Gareng, Petruk, Bagong tidak boleh muncul membawa banyolan, gegojekan, lelucon, dan bertembang riang. Suasana Baratayuda tidak menghendaki mereka bersenang-senang. Sepanjang lakon Baratayuda, mereka libur menghibur, karena semua bendoro majikannya sedang meriang, panas-dingin, harap-cemas, kalut-galau memikirkan peperangan.

Maka hari ini, saya juga ingin istirahat sejenak menulis berbengis-bengis suasana Baratayuda. Saya sengaja menghadirkan para Punakawan di tepi Palagan Kurusetra untuk mengingatkan bahwa Baratayuda, sejatinya lahir demi rakyat. Bukan semata perang berebut kuasa. Jangan biarkan hanya karena Baratayuda kita kegilangan humor.

Toh, setelah Pilkada, setelah Pilpres, setelah semua peperangan antar kandidat, akan tetap bersahabat.  Akan sama-sama cari makan di Indonesia, akan sama-sama ngopi sore-sore di warung depan Pasar Wates. Sama-samar jadi tukang kata, tukang ojek pengkolan, tukang sayur, tukang batu, dan tukang-tukang lain. (kib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.