Langit menangis. Awan bagai membentuk gugusan orang berduka. Sementara begitu banyak kawula berkerumun, ingin melihatnya dari dekat; sekaligus mengantarnya beristirahat abadi.
Bisma, resi utama yang dihormati Pandawa dan Kurawa, gugur dalam Baratayudha yang makin bising. Garis hidupnya, memang harus menjadi bagian dari tragedi Baratayudha. Ia ambruk di tangan Srikandi, senapati keluarga Pandawa.
Tapi itulah kenyataan yang dipilih sang begawan. Kematiannya adalah pembuka kemenangan cucu-cucunya, para Pandawa yang dalam wayang mewakili kebaikan. Maka begitu ajal sudah kian dekat, ia harus menuntaskan dermanya sebagai ksatria. “Kumpulkan semua cucuku, Pandawa dan Kurawa,” katanya dalam sendu, di antara nafasnya yang makin sengal.
“Aku ingin tiduran yang nyaman sebelum mati.” Kalimat Bisma lirih tapi segera menjadi titah. Suyudana, raja Astina memerintahkan adik-adiknya untuk membawakan kasur babut beralas sutra. Sementara itu, para Pandawa masih terpaku. Tapi tidak lama, sebab Sri Kresna segera meminta Arjuna mengumpulkan perkakas bekas perang. Ada patahan panah, pecahan tameng, busur yang tumpul, atau tombak meranggas.
“Cucuku semua. Prajurit itu, harus mati di tengah peperangan. Tidurnya dengan alas alat-alat perang. Arjuna, mana bawa sini yang engkau bawa.” Resi Bisma tersenyum, menyambut uluran Arjuna.
“Sekarang aku minta dipayungi cucu-cucuku.” Kembali Bisma berucap. Kembali pula Suyudana memerintah anak buahnya mengambil payung megah berbahan sutra. Pada saat yang sama, Kresna meminta Bima untuk mencabut pohon randu hutan. “Terima kasih Sena, prajurit itu kalau mati ya begini, dipayungi tumbuhan hutan.”
Dan, begitulah. Bisma gugur. Resi, tetua, dan panutan para ksatria, akhirnya terpejam. Lelap dengan tenang di atas perkakas perang dan naungan randu alas. Tidak ada fasilitas mewah, karena seorang pemimpin sampai mati pun harus menghindari kemewahan apalagi kemewahan fasilitas negara.(*)