Begawan Abiyasa tertunduk. Ia tak menyangka akan mendapatkan perlakuan semena-mena oleh para Kurawa.
Oleh: Ki Bawang Dalang tanpa wayang
Padahal, ia bukan hanya pantas dihormati sebagai orang tua, melainkan juga sesepuh yang mampu memberi restu. Abiyasa mendapat titah para dewa untuk mengayomi mereka yang kelak bertemu di medan laga Kurusetra.
Tapi hari itu, hari ketika malam yang semestinya hangat, usai makan malam bersama para Pandawa, Kurawa datang membuat onar. Patih Sengkuni memimpin mereka, mengertak, menyudutkan dengan kata-kata tak pantas. Lalu Dursasana, merangsek menyentuh kepalanya sambil marah-marah.
Abiyasa yang seoran Begawan tua, tak mampu berbuat apa-apa meski jika ingin, dengan kesaktiannya mampu melumpuhkan para Kurawa. Suasana semakin tidak terkendali, setelah Bima dan Arjuna serta Pandawa lainnya sudah disingkirkan oleh muslihat Sengkuni. Malam itu, Abiyasa hanya seorang diri, sedang para cantrik yang biasanya menemani, juga telah dibawa pergi oleh Kurawa.
“Kalau engkau tetap berbohong, akan aku lepasi semua pakainmu. Pilih mana kakek Abiyasa,” kata-kata Dursasana sama sekali tak menunjukan rasa hormatnya pada Begawan Abiyasa yang tertegun.
“Aku tidak bawa cupu lenga tala yang kalian maksudkan,” jawab Abiyasa dengan suara tergetar. Tapi belum juga selesai mengatupkan bibirnya, tangan Dursasana sudah kembali menyentuh kepala sang bawagan dengan tangan kasar. Ubel-ubel penutup kepala kapanditan lepas, menyentuh tanah, membawa benda bercahaya ungu menggelinding. Benda itulah yang mereka cari-cari. Benda sakti bernama cupu lenga tala.
Kerusuhan yang ditimbilkan para kurawa itu, adalah lakon popular ketika terjadi rebutan lenga tala, minyak suci yang membuat ksatria yang tubuhnya diolesi, menjadi kebal senjata. Lakon popular, karena sering dimainkan para dalang. (*)