ACI 5: Flamboyan itu Masih Merah

oleh -104 Dilihat
oleh

Dengan wajah pias, Indrajin meninggalkan kelas. Tidak ada lagi yang menarik untuk berlama-lama di sekolahnya. Semua berubah tawar. Juga ketika ada yang berusaha memerciki hati. Ia melangkah, meninggalkan gedung yang setiap kali dilihat terasa aneh itu. Lalu, menyusuri jalan yang tak lagi segarang siang tadi.

Mejelang senja, biasanya, ada luapan perasaan. Berhelai-helai flamboyant yang seperti memberi bingkai jalanan, tak lagi merekah. Masih tetap merah merona, tapi sudah kehilangan pesona. Hanya sebatas merah, tidak lagi menyuguhi gairah.

Terus melangkah, lalu menyeberang ke sisi utara jalan raya, ia berteduh di bawah pohon asam yang merindang. Ada kawan yang sedang kumat ajaibnya, sore-sore manjat pohon asam. Indrajit mendongan, tapi segera kepalanya diputar ke kanan, kemudian menubruk merah flamboyan di kejauhan. Ada liukan kecil, saat angin sore menghambur dari hamparan sawah yang disiram sinar lemah matahari senja.

Tiba-tiba saja, hatinya berdesir. Sekali lagi ia melihat flamboyan yang berderet, seperti barisan para Kurawa yang siap meranjab. Entahlah. Hatinya memang sedang linglung, atau otaknya yang sedang konslet. Ia juga tidak tahu  mengapa membayangkan flamboyant yang selama ini membawa suasana bahagia, berubah menjadi barisan Kurawa.

“Ah, embuh,” desisnya dalam hati, lalu, pergi. Ia menuruni jalanan di pinggir kali, dan menghilang di kejauhan. Hari menuju gelap, tinggal warna jingga di barat yang sesekali muncul sesekali menghilang di balik pujuk-pujuk kelapa. Setelah itu, semua memang berganti sunyi.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.