Oleh: Ki Bawang Dalang tanpa wayang
Tersebutlah Bisma ya Dewabrata terpedaya. Ialah tokoh sakti pewaris tahta Astina yang sesungguhnya. Tapi ia, menjadi tumbal Baratayuda, perang dua trah cucunya. Sukma Dewi Amba yang ia tolak cintanya yang menjemput nyawanya di pinggir Palagan Kurukaseta.
Dari episode kain Baratayuda, Gatutkaca dijemput sukma Kalabendana, paman yang tanpa sengaja tewas oleh tangannya. Gatutkaca, raja muda negeri Pringgandani ini, menjadi tumbal Baratayuda yang bengis. Ia menyatu dengan senjata Kunto milik Adipati Karno, sekaligus membuat ratu Awangga itu kehilangan kesaktiannya, dan tewas ditangan Arjuna, adik tirinya.
Menjelang hari-hari terakhir Baratayuda, Prabu Salya maju perang. Ia adalah tokoh tua yang Mandraguna, karena kesaktiannya belum bisa disamai anak-anak muda penerusnya. Salya, mertua Prabu Duryudana, Prabu Baladewa, serta Adipati Karno, sehingga ia maju perang sebagai senapati Astunapura. Padahal cintanya pada para Pandawa tertanam di dalam hati paling dalam. Tapi begitulah, kesaktian tang tiada tanding itu, runtuh. Bukan karena kalah sakti, tapi karena ia dijemput Sukma mertuanya sendiri. Mertua yang mati karena ulahnya sebagai calon menantu.
Ya. Baratayuda memang terus-terusan meminta tumbal. Mereka yang sakti tak tertandingi, mati dijemput ajal. Bisma, Garutkaca, dan Salya hanya contoh tokoh sakti yang mati bukan karena bertemu lawan sebanding, melainkan dijemput Sukma yang menagih janji kematiannya. Dalam Baratayuda, masih banyak tokoh lain yang seperti itu: diperjaya oleh ulahnya di masa lalu.
Saya menulis ini, untuk mengingatkan bahwa kesaktian bukan segalanya. Sebab selalu ada saat apes pada setiap orang, sesakti apapun dia. Dan, di alam nyata, sangat banyak contoh yang lebih dramatik, melebihi para sakti yang berguguran dalam Baratayuda.(*)