Tidak. Rasanya tidak ada yang harus disesali. Ia juga tidak perlu merasa kehilangan, karena selama ini memang tidak pernah memilikinya. Hanya sesekali saja, ada nyeri di hati setiap kali melintas di depan gedung aneh SMP Sogan. Juga sore itu, ketika sudah tiga tahunan ia meninggalkannya.
Nyaris semua bentuk yang ditangkap mata, membuatnya ingin membuang muka. Tapi sialnya, pada saat yang sama ada kekuatan untuk memandanginya. Atap gedungnya yang lancip-lancip seperti menusuk langit, warna catnya yang pucat, atau hamparan sawah yang ada di sekitarnya.
Indrajit sekali lagi menoleh, meski angkutan umum sore itu, sudah menjauh. Ia lama sekali menolehkan kepala sampai gedung ajaib yang membuatnya bergetaran itu, tinggal sebuah titik yang semakin ajaib.
Sebelum benar-benar hilang, gedung itu masih berupa gugusan antara padi menguning dan merahnya flamboyan yang membentuk bintil-bintil dari kejauhan. Lalu, hilang begitu saja, seperti semua yang pernah ia alami di tempat itu: pergi, berlari, meninggalkan bekas luka yang tak tersembuhkan.
Semua memberi luka. Sudah sejak sebelum jalan menurun di depan gerpang, pada jajaran flamboyan yang seperti tak berhenti memberi bingkai merah, luka-luka menganga. Begitu masuk lobi yang memaksa semua orang berhenti melihat foto kegiatan di dinding kiri atau berhenti karena ingin membaca koran yang dipasang di lemari kaca, luka semakin terasa perih. Lalu semua tragedi semakin sempurna, begitu menikung kecil ke kanan sebelum beberapa tapak lurus ke selatan, menuju kelas yang menjadi pusat kedukaan.
Indrajit sesak, tiba-tiba. Selalu seperti itu, setiap kali melintasi jalanan traumatik ini. Hatinya teriris oleh irisan peristiwa kecil, dalam rentang pendek, ketika sedang memulai fase awal usia remaja. Hanya satu pekan semua itu terjadi, tapi memberi nyeri abadi, bahkan hingga bertahun-tahun, entah sampai kapan. (bersambung)