Pintu cepuri digembok. Tentu saja, selalu digembok, agar tetap terjaga auranya. Beruntung, ada peziarah yang datang bersama juru kunci. Saya menunggu giliran. Malam merambat pekat, saat Parangkusumo semakin ramai.
Hari itu, malam Sabtu yang berhias kemeriahan. Orang-orang berlalu lalang, bahkan tak peduli dengan cepuri yang keramat. Satu jam, peziarah itu, berada di cepuri. Saya longok, cukup lama ia bersimpuh di Selo Ageng. Sementara jurukunci, bersila diam, di sebuah tikar, dua depa dari batu kecil di selatan Selo Ageng.
30 menit lagi, saya menunggu. Baru setelah mendekati jam 11 malam, orang itu keluar diikuti jurukunci. Saya mendekat, minta diantar sowan bersemadi di cepuri. Tanpa berkata-kata, jurukunci kembali ke dalam, duduk di tikar, menerima uluran sekeranjang kecil bunga setaman. Ia membaca doa, membakar kemenyan, sedang saya membisu menunggu apa yang harus dilakukan.
Tidak ada kejadian apapun. Hanya kepulan asap kemenyan, yang membentuk lilitan kecil di depan jurukunci, memanjat ketinggian, lalu pudar bercampur dengan udara malam. Saya berusaha melepas seleuruh beban dalam fikiran. Mengosongkan otak, memejamkan mata, ikut meresapi setiap hembusan angin. Aroma kemenyan, yang khas, membantu membuat suasana terasa lebih khusuk. Dan, keramat.
Saat saya membuka mata, sudah lebih dari 10 menitan, jurukunci itu, merapal doa-doa. Tidak terdengar apa yang dibaca. Hanya sesekali, bersama tarikan nafas, degung lirih tertangkap telinga. Saya menghitung, dalam 10 menit itu, dua kali ia menyemplungkan kemenyan di dalam tungku yang munjung oleh leleran kemenyan.
Lalu, setelah membawa kerancang kecil bunga setaman, ke atas padupan (maksudnya mengasapi sebentar dengan uap bakaran kemenyan) keranjang itu diberikan pada saya. Ia menyuruh menabur di dua batu karang yang menyembul, utara-selatan, dari balik pasir. Ia juga membisikkan kalimat kecil, untuk mengambil satu buah kantil yang ditinggalkan peziarah lain.
Dengan langkah yang saya usahaka sesopan mungkin, saya mendekati Sela Ageng, di utara. Bertimpuh (duduk di atas lipatan dua kaki) saya menepuk tiga kali batu karang itu. Di tempat itulah, Kanjeng Panembahan Senapati duduk, bertetirah, kemudian bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul yang duduk di batu karang agak kecil di sebelah selatan.(bersambung)