Menyembunyikan Baladewa agar tak Ikut Pemilu

oleh -113 Dilihat
oleh

Pertapan Grojogan sewu senyap. Hanya sesekali kesiur angin mengirim suara lirih dedaunan yang bergesekan. Wasi Jaladara termangu, menunggu waktu yang berlalu dalam diam. Ia tak lelah menanti, karena perang suci Baratayuda siap memberi peran tersendiri.

Oleh: Ki Bawang
Dalang tanpa Wayang

Seorang cantrik, anak Pertapan yang setia melayani sang Jaladara, mendekat. Ia siap mendapat titah, pagi itu. Tapi Wasi yang masa mudanya seorang raja perkasa bernama Prabu Baladewa itu masih tenggelam dalam lamunan. Atau perenungan panjang yang tak berkesudahan, entahlah. Cantrik sudah akan bergeser saat terdengar suara memanggil. Suara sang Wasi yang amat dihormati.

“Bocah cantrik, apa belum ada utusan dari Ngastino atau Ngamarto yang mengabarkan Baratayuda kapan dimulai?” Jaladara berkata masih dengan mata menatap lurus, membentuk garis imajinasi yang menembusi cakrawala hingga ke Kurusetra.

“Ampun bapa Wasi. Sampai saat ini belum ada pawarta dari manapun,” kata cantrik, gugup. Ia tahu sedang membohongi raja Mandura itu. Ia sudah dipesankan Sri Kresna untuk selalu berkata begitu sampai Baratayuda berakhir.

Kresna tidak ingin, kakaknya itu terlibat dalam perang pesar yang habis-habisan. Sebab, ia memiliki tugas amat mulai untuk melantik raja baru Hastinapura, kelak. Kresna sengaja mengatakan seperti itu agar Baladewa selamat dari prahara Baratayuda. Biarlah Baratayuda menjadi perangnya para muda Pandawa dan Kurawa.

Dan benar. Hingga Baratayuda pungkas, Baladewa ya Jaladara tak meninggalkan Pertapan Grojogansewu. Ia menunggu dan terus menunggu. Hanya sesekali, ia bersuara dengan kemarahan tertahan. Suara yang tak lagi berpengaruh apa-apa karena ia sudah menjadi mantan raja Mandura dengan memilih jalan menjadi resi, pandita, begawan, Wasi. Wasi Jaladara.

Baiklah. Penggalan kisah itu memang dramatis, bagaimana Baladewa yang sewaktu menjadi raja Mandura amat perkasa, tiba-tiba terpaksa tampil sebagai pertapa di kesunyian.Semua demi perang suci Baratayuda.

Saya menuliskan kisah ini, untuk memotret para mantan pemimpin yang kini menepi, meski sesekali tetap bersuara. Itupun di dunia maya yang sungguh-sungguh maya, tanpa berpengaruh apa-apa. Sebab, gelanggang perang, kini sudah bukan miliknya. Baratayuda adalah perangnya para muda. Anda tahu yang saya maksud kan?(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.