Joko Tingkir Melipir untuk Memimpin-1: Menguji Hati Lewat Pertarungan

oleh -276 Dilihat
oleh

Menyeberang Bengawan Solo, saya bergegas ke timur, ke arah Mojosongo. Jalan lurus, nyaris tanpa hambatan siang itu. 15 menit, lalu menikung ke kiri,  pemandangan berganti, memasuki pedusunan.

Terus, menyusuri jalan lempang yang tidak terlalu lebar, suasana pedusunan berganti dengan sawah-sawah, yang di beberapa titik, seolah berebut dengan pemukiman penduduk.

Memang, jalan semakin menyempit. Tapi siang yang memanggang, tak terasa teriknya. Yang kemudian tersaji, justru suasana hati yang sunyi, memandangi permadani menguning pada hamparan luas persawahan.

Di sebuah gang, saya berbelok, mengikuti plang sederhana yang mengarahkan ke makam Butuh. Kembali, sawah-sawan memberi suguhan tentram. Bergerombolan, pak tani merampungkan baktinya; memanen padi dengan segenap rasa syukur.

Saya menyapa tiga pak tua, yang duduk mengusir penat, di atas ilalang, di bawah munggur kecil, di tepian jalan. Mereka tampak damai, menikmati angin yang akrab mengusir gerah. Kepulan asap rokok lintingan, sesekali menghias wajah, memberi siluet yang indah. Saya membayangkan lukisan seorang maestro, yang menggambar petani duduk, dengan wajah tembaga, berhias asap yang meliuk di depan hidungnya.

Keramahan yang semestinya wajar, karena khas orang desa yang lugu, membuat saya tersentuh. Mereka seolah tak terusik oleh sapaan orang, yang bahkan tak pernah dikenalnya. Saat saya tahu hendak ke Pasarean Ki Ageng Butuh, wajah-wajah mereka membiaskan binar. Entahlah, apa yang membuat mereka senang, saya hendak tetirah di makam keramat itu.

Meninggalkan pak tani yang masih ngaso, saya menghampiri pusara para leluhur Keraton Pajang. Sudah dekat, masjid ageng yang juga peninggalan Ki Ageng Butuh, sudah terlihat makutonya.  Sementara suasana sebuah desa yang tentram, segera menjelang. Di tempat inilah, ratusan tahun silam, Ki Ageng Butuh bermukim, menjadi tokoh yang amat disegani.

Segeralah. Bayangan masa silam hadir. Butuh, pada abad 15, tentulah masih belantara yang memancar misteri. Sebab, begitu saya sudah berdiri di depan masjid kuno Butuh, kekuatan aura mistiknya, amat kuat. Saya langsung berwudhu, masuk ruang utama yang terbuka. Terlihat, seorang tua, berbaju batik warna sogan, dengan peji hitam yang pinggirannya mulai pudar. Ia duduk di belakang pengimaman, tidak jauh dari mimbar tua.

Saya tidak ingin mengusiknya, karena kakek berbatik sogan itu, sedang membaca Al Qur’an. Suaranya tidak merdu. Hanya suara seorang laki-laki sepuh. Tapi saya yang mendengar, merinding. Bagi mereka yang pernah tinggal di dusun-dusun, kemudian akrab dengan langgar, pasti pernah di sebuah masa, mendengar suara mengaji yang seperti saya dengar hari itu; perpaduan suara yang saya dengar menyayat, seolah menghiba di depan kebesaran Allah. Dan, inilah suara orang mengaji, yang membuat setiap orang merindu.

Perasaan, segera dikuasai oleh senyap yang menggetarkan. Saya segera melakukan sholat dzuhur, persis dua shaf di belakang kakek pembaca Al Quran. Pada rakaat kedua, bahu kanan saya ditepuk pelan, tanda seseorang ikut berjamaah. Sampai saya merampungkan rakaat terakhir, tidak ada yang aneh. Suara tua, di depan saya juga masih terdengar.

Tapi begitu saya mengucap salam, kemudian mengok ke kanan, ketakjuban memberondong hati saya. Begitupun pada salam kedua, lalu menoleh ke kiri. Orang yang tadi menepuk bahu saya, yang sekilas terlihat di belakang punggung saat saya rukuk, menghilang. Tidak ada orang. Kosong.

Bersama itu, suara kakek mengaji juga hilang. Masjid, tiba-tiba hanya berisi angin yang bertiup lemah dari fentilasi di depan pengimaman. Ajaib, mungkinkah, semua ini hanya ilusi? Saat duduk saya geser, untuk memastikan di beranda ada orang, yang terlihat hanya kesenyapan. Saya kembali membetulkan letak duduk. Menghadap kiblat, menarik nafas panjang, lalu melafalkan doa-doa. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.