Api Cinta (97): Paidi Ingat, Pernah Ketiban Sampur

oleh -367 Dilihat
oleh

Paidi jenuh dengan rutinitas yang membelenggu. Untuk mengisi kekosongan, kalau tidak ke perpustakaan, Paidi berdiam diri di masjid kampus. 

Masyarakat sekitar kampus dapat memanfaatkan masjid sehingga membaur dengan mahasiswa. Termasuk ketika masjid menyelenggarakan kegiatan,  syiar dan diskusi keagamaan.  Sabtu malam, bagi sebagian mahasiswa menghabiskan waktu, bermain atau sekedar bersendagurau.

Paidi tidak ada teman istimewa yang harus didatangi setiap akhir pekan, memilih mengikuti diskusi dan bedah buku. Kegiatan yang terselenggara masjid kampus  dan remaja sekitar kampus mendatangkan berbagai pakar di bidangnya.   Paidi ingat ketika di kampung halaman menjadi panas dingin saat didaulat ke panggung menggantikan ketua panitia yang berhalangan.

Masjid legendaris di kampung halaman menyelenggarakan perayaan, Paidi didapuk menjadi panitia meski bukan pucuk pimpinan.  Ketika pimpinan berhalangan, Paidi menjadi yang ketiban sampur, menjadi badal menggantikan sang ketua maju berpidato di mimbar. Demam panggung pasti, pengalaman pertama berbicara di hadapan masyarakat.

Paidi mempersiapan teks, mental dan keberanian untuk berbicara  di tengah hiruk-pikuk panggung.  Beruntung sang penyelamat akhirnya datang. Kepala kampung  menyampaikan pidato pembukaan menggantikan ketua panitia, Paidi lega tidak jadi tampil di panggung meski sudah mempersiapkan diri.

Paidi saat ini menjadi lebih banyak waktu berlama-lama di masjid kampus,  ada saja yang dikerjakan. Kalau tidak membaca, selalu berdiskusi dengan siapa saja yang dijumpai. Kebiasaan barunya bukan saja di kampus dan masjid kampus, melainkan di setiap pertemuan dengan orang yang dapat menjadi lawan tanding diskusi. Temanya apa saja yang sedang berkembang, namun tidak jarang isu-isu transnasional.

“Pakne aku ngimpi, anakku kok nang gunung lanang,” Madanom merajuk di samping Madsani  ketika suaminya sedang leyeh-leyeh usai bekerja seharian.

“Ngimpi, kembange turu,” Madsani menimpali enteng.

“Ngimpi tenan,”

“Koyo-koyo tenanan,”

Madanom meyakinkan suaminya. Paidi anaknya yang belajar di rantau sedang menghadapi masalah, jangan-jangan benar sedang menghadapi masalah. Bukankan keberangkatannya membawa masalah yang menggelayuti batinnya.

Mirah Delima yang menghilang tanpa jejak, bukankah menjadi sebab keberangkatan Paidi ke metropolitan.  Meski belajar untuk masa depannya, tapi ada sejumput permasalahan yang menggelayuti.

“Mbokmu,”

“Doakan saja,”

“Anakmu baik-baik saja,”

Madsani menenangkan istrinya. Meski dalam hati Madsani merindukan anaknya yang belum pulang sejak keberangkatannya untuk belajar di kota besar. Sebagai laki-laki dapat menyembunyikan kegundahan hatinya. Berbeda dengan perempuan yang lebih ekspresif menyampaikan kerinduan kepada buahhatinya.

“Prenjak,”

“Prenjak,”

“Prenjake kok nyanter yo,”

Madanom bergumam dengan dirinya. Mengharapkan anaknya datang  dari kota. Meski belum menyelesaikan seluruh tugasnya. Sehari dua di rumah sudah mengobati kerinduan yang mendendam selama ini.  Sejak keberangkatan anaknya, ada rasa nglangut meski Paidi memiliki sejumlah adik, namun mbarep tetap saja menggelayuti hati dan perasaannya. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.