Keris dengan unsur eksoteri, adalah sisi menarik, meski masih menjadi perdebatan. Ada yang menyebut klinik, tapi tidak sedikit penganut paham bahwa keris memang tidak bisa lepas dari unsur mistik.
Bagi Ki Sugeng Winarto, justru sisi mistik itulah yang membuat keris tetap mendapat tempat yang layak bagi orang Jawa. Bisa dibayangkan jika keris tidak dibekali dengan mitos atau cerita-cerita kehebatan masa lampau, yakinlah sudah menjadi benda yang biasa saja.
“Untuk tangguh, pakem, dapur, warangka dan aksesoris keris, lengkap dengan gaya dan segala pernik-perniknya biarlah para sesepuh yang membabar. Atau para senior yang lebih memahami tosan aji,” kata penggiat keris dari Perkumpulan Brajabumi itu.
Hal-hal yang berada di luar logika seperti membersihkan keris di hari Jemuah Kliwon, termasuk dengan berbagai ritualnya, kadang dipadang sebagai sesuatu yang menyimpang. Klenik dan bertentangan dengan norma agama. Tapi tidak untuk Ki Sugeng.
“Mau dianggap delusi yo rapopo. Hidup adalah pilihan. Selalu ada pro dan kontra. Rwabhinneda. Sebagaimana kain catur poleng bali.ada hitam putih dan abu abu diantaranya. Hidup selalu bergerak dinamis meski terlihat statis,” jelasnya.
Hidup dan jalan spiritual, tambah tokoh perkerisan yang punya nama pena Kidung Pamungkas itu, sifatnya sinengker. Artinnya bisa sangat subyektif dan personal. “Kita sendiri yang memilih. Tan hana dharma mangrwa. Tak ada kebenaran atau kebajikan yang mendua,” tambah Ki Sugeng.
Dalam arti personal, lingkupnya berada pada mikrokosmos atau jagad alit kehidupan kita. “Barulah terwujud rahmatan lil alamin, memayu hayuning bawana yang sesungguhnya. Selogis logika dan senalar apapun manusia selama ia masih memiliki keyakinan keimanan dan otak kanan, maka tak bisa melepaskan diri dari hal mistik dan magis, meski dalam konteks yang berbeda beda-beda,” demikian ungkap Ki Sugeng Winarto sang Kidung Pamungkas. (kib)