Masa pengenalan kampus, meski tidak ada lagi penggojlogan namun superioritas para senior sengaja ditampilkan. Paidi mendapat giliran, maju ke podium.
Di hadapan sivitas akademika dan hadirin dari berbagai kalangan, banyak mata terbelalak menyaksikan penampilannya. Banyak juga yang tampak tidak enak karena judul yang dipilihnya.
Panitia mendatangi Paidi, menyalami dan sebagian mendiskusikan judul puisi yang dibawakan. Jangan mengkritik pemerintah terlalu keras, akan banyak masalah yang dihadapi nanti. Selama ini saja banyak aktivis yang berhadapan dengan aparat, mahasiswa juga akan menghadapi masalah serupa.
“Berhati-hati, kamu masih sangat muda,” Azisfullah salah seorang panitia berpesan kepada Paidi. Setelah kejadian itu, Paidi banyak dikenal di antara teman-temannya. Apalagi aktivitasnya di Benteng Kampus, penerbitan yang dikelola kampus untuk menyalurkan aspirasi dan kemampuan menulis di kalangan mahasiswa.
Ulasannya banyak mendapat tanggapan. Tanggapannya juga banyak mendapat apresiasi. Ada yang pro dan kontra, ada yang nyinyir ada juga yang mendasarkan kepada argumentasi. Tulisannya di Benteng Kampus sering menjadi bahan diskusi di berbagai kesempatan. Ada juga yang menjadikan sebagai reverensi untuk diskusi di antara teman-temannya.
Paidi sebagai sosok tertutup. Banyak berteman dengan buku, berinteraksi di perpustakaan kampus berlama-lama. Ketika kampus tidak banyak kegiatan, satu-satunya tempat nongkrong hanyalah meja besar yang dikelilingi ribuan buku. Kantin yang menjadi arena favorit bagi sebagian besar mahasiswa, tidak bagi Paidi. Kantongnya hanya cukup untuk membeli sayur dan lauk untuk menemani nasi yang sudah dimasak sebelum berangkat ke kampus.
Masruroh dan Masasrun lawan diskusi yang tangguh. Keduanya sering terlibat diskusi, berbagai masalah dilontarkan. Mulai ketimpangan sosial yang makin menganga, politik yang tidak kunjung memberikan kesejahteraan dan tentu saja Kedungombo yang menjadi bahan perbincangan.
Masruroh mahasiswi berkacamata, kulit kuning langsat dan proporsional. Sering duduk sebangku dengan Paidi, terkadang bertiga dengan Marasrun yang datang dari seberang. Ketiganya kost berdekatan, sering ke kampus berjalan beriringan. Terkadang Masasrun saja berdua dengan Masruroh.
Masasrun pernah menyatakan cinta kepada Masruroh, namun Masruroh tidak menanggapinya. Sementara Masruroh mencoba mendekati Paidi, namun tidak juga mendapat jawaban. Namun ketiganya tidak pernah berselirih. Semuanya baik-baik saja, terutama ketika ketiganya terlibat diskusi seru berbagai masalah aktual di sekitarnya.
Masasrun yang anak pejabat, Masruroh yang anak sodagar tampil mentereng. Paidi yang anak kampung, bukan siapa-siapa merasa perlu tahu diri. Meski dalam setiap kesempatan diskusi tidak ada perbedaan, namun ketika sudah urusan penampilan Paidi mulai menarik diri.
Jangankan untuk membeli pakaian baru, sepatu baru atau keperluan lain. Mampu mempertahankan diri sebagai mahasiswa saja, syukur. Terlebih kalau kebutuhan logistik dapat dipenuhi selama sebulan. (bersambung)