Ra Sopan, Ki Mbero Protes Uleman Kok Lewat Grup

oleh -171 Dilihat
oleh

Berhari-hari Cakruk ra ono benine, senyap, sepi, seperti kuburan Mbanaran di belakang rumah Kang Barno. Para aktivis sibuk semua: Densus sedang menyusun anggaran, Denpur me-Nguri, Ki Mbero topo-broto mempertebal ketajaman batin.

Juga pagi ini. Tak ada orang yang menonggol. Padahal biasanya, selalu ada yang meriah di Cakruk online Komunitas Janturan Siji. Kentongan jumbo itu, seolah merana. Menggantung di sisi kanan dengan  tali tambang warna hijau bekas tali kambing Kang Jidin. Bibir Kentongan sudah gumpil, sobek mbleber seperti lambe Bagong karena tiap malam dipukuli Kiai Njenar.

Di dalam Cakruk, hanya ada onggokan tikar yang dilipat tidak terlalu rapi. Pasti Densus terburu-buru waktu melipat, padahal biasanya, piyayi ASN ini, yang paling sregep dalam soal kerapian. Di atas lipatan tikar, masih ada sisa kertas berisi coretan-coretan tidak jelas. Mungkin tilas mencatat skore remi yang selalu dimenangkan Ki Mbero.

Tapi tidak. Di tengah suasana nyenyet, dari kejauhan terdengar suara gemrenggeng. Sepertinya ada tiga orang yang bercakap dengan kencang. Kalau didengar dari suaranya, Ki Mbero yang paling kencang berkata-kata itu.

Lha kan benar. Ki Mbero diiringkan Denpur. Sementara agak di belakang, ada Kiai Njenar yang seperti biasa, tidak banyak bicara. Tiba-tiba suara Ki Mbero kembali meninggi. Rupanya dia baru saja dapat uleman, undangan genduren. Undangan seperti biasa, yang dikirim lewat grup yang menurutnya sudah kehilangan kesantunan.

“Sing ora anggota ra oleh menyang.” Kalimat Denwiro itu, dalam seketika membuat Ki Mbero muntap. Kalimat yang langsung memanaskan gelanggang pertempuran. Maka dengan segenap kesigapan, Ki Mbero pasang kuda-kuda maut.

“Siap. Anggota po dudu anggota monggo merapat,” Ki Lowo berusaha menengani, niatnya membut suasana kembali adem. Tapi tetap saja, Ki Mbero sudah kadung murka. Semua tahu, kalau sudah begitu, butuh sajen yang tidak sembarangan untuk meredakan naluri perang Ki Mbero.

“Jatah berkat tetap ada. Suwer,” tambah Ki Lowo yang memang senang berlaku bijak, meski memiliki simpanan jurus-jurus sakti, tak kalah ngedap-edapi di bandingkan para pendekar lain di Cakruk online ini.

“Nek ra diundang yo mesthi do rikuh,” Ki Mbero masih emosi meski sudah sedikit mereda. Ia tahu, kata-kata Ki Lowo sahabatnya itu ada benarnya juga.

“Ning yo cen luwih ngirit. Nek mbiyen wong sak pedhukuhan diundang..nek sak iki yo cukup 20-30,” kata Ki Mbero agak sinis dengan maksud menyindir kahanan yang semakin praktis dan menjauh dari sesrawungan. Pasti kalimat itu, masih akan ada lanjutannya. Lanjutan yang sudah pasti menggelegar. Tunggu saja.

“Kok njuk cok ono sing nggreneng. Aku mono udu anggota.” La rak betul. Kaimat itu jelas bukan sepi sasaran. Paling tidak, sedang diarahkan ke mereka yang suka menggerutu karena merasa tidak diundang karena tidak ikut grup.

“Njuk ono sing muni: Aku ra ono sing ngejak.” Semakin menohon saja kalimat Ki Mbero.

“Dan nek taksih onten sek ngrundel niku nggih biasa, karang wong okeh, penemune dewe-dewe.” Wah iki, kalimat bijak ini datang dari tokoh sinengker. Tokoh yan jarang muncul, jarang bicara, senangnya melihat dari kejauhan. Tapi sekali bicara, membuat tensi pertarungan anjlok. Lalu, adem, tenang, ayom-ayem-tentrem. Jagad Cakruk kembali dipeluk harmoni.(kib)

Response (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.