Menit ini, mari membayangkan suasana di Pegangsaan Timur 56, 73 tahun silam. Suasana menjelang detik-detik pembacaan teks Proklamasi yang tentulah riuh oleh campur-aduk perasaan: tegang, senang, ditingkah meriang yang sedang menyerang Bung Karno.
Setelah itu, saya ajak untuk merapal doa-doa, memuja Yang Maha Kuasa, memohon ampunan untuk para pejuang. Dari mereka, Indonesia memiliki harga diri sebagai bangsa yang merdeka, lepas dari jarah penjajajah.
Selanjutnya, saya juga ajak untuk berjalan ke sekitar pasar yang menjadi pusat keramaian Pedukuhan Jombokan. Di pertigaan tidak jauh dari Pasar Jombokan yang legendaris, jika dari arah timur, tengok ke kiri, jika dari Nagung tengok ke kanan. Atau jika dari selatan, dari Siluwok sebelum menikung ke kanan, lihatlah rumah bersahaja di pojok kanan.
Rumah itu, rumah yang menjadi pacer utama Pasar Jombokan. Bukan pasar yang riuh, bukan toko-toko yang ramai, bukan pula suasana metropolitan yang makin terlihat. Tapi rumah itu, rumah yang dulu dikenal sebagai rumah milik Pak Nurdi.
Pak Nurdi adalah tokoh spiritual sekaligus penjaga kewibawaan kota Jombokan. Ialah yang sesungguhnya, menjadi suh atau temali yang mengobarkan semangat kemerdekaan. Saya yang mengenalnya secara personal, merasakan itu.
Saat saya sudah menjadi wartawan, Pak Nurdi menjadi penyambung masa silam. Lewat Veteran kelas A ini, saya menyusuri suasana Indonesia dari masa lampau. Termasuk kekecewaan-kekecewaan kecil yang membuatnya sering dianggap ‘aneh’ oleh semua orang.
Sejak tahun 1994 saat tahu saya menjadi wartawan di koran yang lahir di masa perang kemerdekaan, Pak Nurdi rajin mengirimkan surat-suratnya. Tidak semua surat saya pahami isinya. Tapi secara rutin (seolah tak peduli suratnya sampai atau tidak, ditanggapi atau tidak, dimengerti atau tidak) terus berdatangan.
Banyak yang menarik, setelah saya pahami saat ini. Terutama dokumen-dokumen yang berisi obsesi dan isi pikirannya. Meski tidak lengkap benar, surat-surat yang sebagian berisi dokumen perjalanan hidupnya itu, saya kliping, saya bundel, saya jadikan satu catatan sejarah yang penting.
Dan, di hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 ini, saya ingin menulis panjang tentang Pak Nurdi. Tulisan yang barangkali sangat subyektif. Berisi serba sedikit seputar sepak-terjangnya yang saya kenal, terutama lewat dokumen-dokumen yang pernah dikirimkan pria selahiran Pedukuhan Jombokan, Kelurahan Tawangsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, provinsi DIY ini.(bersambung)