Membaca Titah Raden Patah-1: Menatah Sejarah

oleh -303 Dilihat
oleh

Berdiri di tanah yang lapang, saya memandangi masjid itu. Masjid  yang  telah melintasi sejarah, generasi, dan peradaban, sejak 1466. Seketika, saya membiarkan angan menempuh jarak 552 tahun, ke masa silam. Saat itu, masjid yang kini menjadi kebanggaaan umat Islam ini, masih sangat bersahaja, sebagai langgar di pemukiman Islami yang sederhana bernama Glagahwangi – tempat Raden Patah pertama membuka lahan.

Saya membayangkan, seperti melihat lintasan sejarah lewat foto kekuningan. Bangunan dengan model limasan. Kayu jati, mendominasi mulai dari tiang hingga dinding. Bersemu hitam, kayu itu, lincin oleh gosokan waktu. Sebuah pemandangan yang tak berhenti memberi kagum.

Saat kembali menginjak bumi di angka tahun 2018, saya masih dicekam kekaguman. Saya memandang dengan dongakan dagu 20 derajat, lurus ke tiga susun atap masjid. Gaya limasan yang sederhana, kini berganti dengan bentuk atap tumpang tiga – yang kemudian menjadi ciri hampir semua masjid tua di Indonesia.

Saya mendekat dengan mengawali langkah kaki kanan. Menuju serambi yang terbuka. Setelah Bismillah, kemudian mengucap salam, saya mulai menghitung. Di serambi itu, ada 28 soko dengan dikelilingi 16 tiang samping.  Secara keseluruhan, masjid ini disangga oleh 128 tiang.

Lalu, naik ke tatak rambat berukuran 25×3 meter. Begitu masuk ruang utama yang terdapat soko guru, jantung berdetak kencang. Inilah rupanya, masjid keramat, yang telah mengantarkan Islam berjaya di Nusantara. Saya kembali menghitung. Kali ini, lima pintu yang menjadi penghubung. Konon, melambangkan lima rukun Islam. Kemudian lihatlah jendelanya. Ada enam, yang melambangkan rukun Iman.

Tidak bisa tidak. Seperti kata semua orang. Masjid Agung Demak memang penuh wibawa (atau, angker, barangkali). Saya meremang, saat mendekati soko guru. Merinding oleh kisahnya yang amat mistik.  Tak ingin larut dalam kalut, saya melakukan sholat dua rakha’at, sholat menghormati masjid.

Kemegahan masjid tertua di Tanah Jawa ini, masih selalu memancarkan pesona. Menjadi kebanggaan Demak, masjid ini seolah tampil sebagai icon kota. Lebih dari itu, di balik sejarahnya yang tinggi, masjid yang kebesarannya dibangun oleh cerita-cerita beraroma mitos ini, juga menorehkan jejak banyak nilai. Termasuk nilai arsitekturnya yang memberi kharisma.

Beratap piramida tersusun, Masjid Agung Demak dibangun, dengan menggoreskan banyak symbol. Tiga susun piramida di atas atap gaya limasan itu, misalnya, menegaskan perihal Iman, Islam, Ihsan.

Seperti umumnya bangunan kuno peninggalan kerajaan di Jawa, masjid ini juga ditandai dengan candrasengkala atau penanda tahun. Candrasengkala itu menyembunyikan tahun pembangunannya; Nogo Mulat Saliro Wani, yang berarti didirikan tahun 1466 Masehi, 887 Hijriah,1388 Jawa.

Condrosekolo juga muncul pada gambar bulus yang ada di dalam masjid.
Gambar itu, dikenal sebagai condrosengkolo memet berbunyi, Sariro Sunyi Kiblating Gusti. Makna yang tersimpan dipenanda tahun itu adalah 1401 Saka. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.