Ki Amat Aji yo Mbah Amat, ngudoroso. Ia merasa mendapat tugas berat karena tiba-tiba diberi sebutan Mbah. ia berusa protes pada Ki Bawang, atau tepatnya bertanya dengan setengah menggugat, apa yang sedang terjadi di jagad Jombokarto.
“Begini lho ki, lha kok tiba-tiba kita ini didudukkan sebagai simbah, sebagai pinesepuh, sebagai sesepuh di kampung ini. Padahal belum lama kita main gobak sodor, benthik, jethungan, sepak sekong, kasti bunder, lha kok tiba-tiba, ujug-ujug, mak bedunduk, seperti harus duduk dikursi panas sebagai simbah.”
“Lha yow is alamiyah to, mbah, sudah sunatullah, gilir gumanti, cakra manggilingan,” jawab Ki Bawang, santai seperti biasanya.
Mbah Amat membenarkan. Tapi dalam hati, ia meneruskan ngudoroso. “Ya begitulah memang. Tapi kadang saya merasa ngiri sama anak-anak sekarang, di masa kecil kita dulu kalau di masjid ditakut-takuti, ada gendruwo penunggu masjid, kalau rame dan berisik selalu dipenthelengi simbah-simbah, selalu diamuk-amuk sama simbah simbah, kalau ramai dilempar sapu, digebrak mejanya, lha kalau anak sekarang di masjid sudah banyak yang rame-rame, bermain, kejar-kejaran atau sekedar ngecas Androit dan mainan HP. Ternyata sekarang lebih maklum. Pasti bilang masih lebih baik yang dant ke masjid meskipun masih rame, dari pada diam tapi hanya ada dirumah saja.”
Ingatan Mbah Amat terlempar ke masa lalu, ia merasakan, dulu, bagaimana sulitnya masa anak-anak jamannya. Dulu, kalau mau nonton tipi harus nonton di rumah tetangga, harus nunggu pas acara dimulai karena tipi masih pakai accu, belum ada listrik.
Belum lagi kalau musim bal-balan, betapa sulitnya dapat bola, harus nguwel uwel klaras supaya jadi bola, harus main di tanah lapang Pak Sosial yang luas. La sekarang, lapangan legendaris itu sudah dijual terus dijadikan mal kecil-kecilan.
Belum lagi kalau sudah sore harus dioyak-oyak supaya pergi ngaji, dimana ngaji harus urunan untuk beli kapur tulis, urunan untuk beli minyak tanah untuk menyalakan lampu petromax. Dan nunggu guru ngaji sambil main, gebug-gebugan sarung, atau jongkong-jongkongan ketika rukuk, kemudian yang di jongkongkan terus ketika sujud, mundur sedikit untuk njejak kepala di sof belakangnya yang tadi njongkongke. Atau uthik-uthik dengan kaki kepada teman kita yang duduk disebelah kanan kita ketika tahiyat akhir. Atau memainkan jari telunjuk teman sebelah kita ketika duduk, sehingga menimbulkan tertawa. Kemudian yang simbah simbah membelalaki kita ketika selesai shalat.
Belum lagi kalau kita pas bulan puasa dihadapi pilihan untuk taraweh 23 rakaat yang banyak tapi cepat dan ada makanan jaburannya atau 11 rakaat, tapi lama, dan tidak ada makanan setelah taraweh, atau dari rumah pamitnya taraweh, tapi kita hanya tongkrong-tongkrong di pasar nJombokan, dan setelah bubar shalat taraweh terus kita ikut pulang bersama orang orang yang taraweh.
Atau ketika kita terus bermain, kemudian salah paham dengan teman bermain, kemudian terjadi perkelahian namum akhirnya malu-malu akur kembali dan bermain bersama lagi, dan melupakanperselisihan kita.
“Haiyo..” kata Ki Bawang, tiba-tiba membuat lamunan Mbah Amat buyar. Mak gragap, Ki Amat Aji kaget mendengar ada kata-kata haiyo yang ia tidak tahu untuk apa.
“Sekarang jaman sudah berganti, dan kita menjadi tua. Yang harus bijaksana, harus mrantasi karyo, atau malah kehadiran kita sudah dihindari oleh anak anak, karena ngrepoti, tidak nyambung, atau selalu,” kata Ki Amat yang seperti tidak peduli dengan ‘haiyo-nya Ki Bawang. Ia juga tidak peduli, apakah obrolannya nyambung apa tidak. Ki Amat ya Mbah Amat, memang tidak peduli karena kemudian keduanya terdiam, terbang dalam lamunan sendiri-sendiri.(stmj)