Setelah menaiki tujuh undakan kecil, lalu menuruni undakan yang berada di sisi dalam gerbang, terbentanglah kedamaian yang nyata.
Segera saja, pemandangan purba menghadang. Nisan-nisan tua, yang berselimut lumut, menghampar. Tidak lebih dari 10 langkah, sebuah gapura kembali menyambut. Inilah pintu yang memisahkan makam utama, dengan makam-makam lainnya.
Kang Jio bergegas, dengan langkah yang panjang-panjang, menuju pojokan makam. Tangannya cekatan, menggelar tikar plastic yang ia bawa dari pendopo. Sejenak ia menunggu saya, dengan sikap ngapurancang yang sempurna. Tapi saya yang ditunggu, saat itu, masih tertegun, belum beranjak dari gapura pemisah komplek makam utama. Seperti ada kekuatan, yang mencegah saya, untuk menunda melangkah.
Saya menghirup wangi kembang setaman yang datang dibawa hembusan angin. Gentong dari semen yang ada di sisi gapura, semestinya ditaburi kembang, tapi siang itu, hanya terlihat bening. Dengan membatinkan salam, saya mengayunkan langkah. Berjajaran kijing-kijing yang khas dari masa silam.
Di sebelah kanan makam utama, Kang Jio masih menunggu dengan sikap ngapurancang yang ajeg. Begitu saya mendekat, tangan kanannya, dengan jempol diacungkan, mempersilakan untuk langsung bersila, di kaki pusara.
Seketika, begitu saya bersila, datang terpaan angin yang cukup kencang. Bukan hanya mengirim desiran, tapi juga menggoyang pepohonan yang ribun di komplek itu. Hanya sesaat terpaan itu, lalu diganti senyap yang merayap. Saya merapal doa. Mengirim ayat-ayat pendek, untuk kelapangan kubur Ki Ageng yang luhur.
Setelah itu, seperti yang selalu saya lakukan di setiap tempat keramat, menyambung rasa dengan kegaiban. Dalam tiga tarikan nafas, saya membiarkan seluruh tubuh saya, dibawa ke alam suwung. Selalu melenakan ritual ini, karena seperti ada ketemtraman yang berbeda. Tidak kemrungsung, senantiasa eling, dekat dengan kebaikan, serta diajak meninggalkan kesejenakan dunia yang menyesatkan.
Larut dalam sunyi, saya menggambar sosok Ki Ageng yang menjadi salah seorang pilar utama raja-raja Jawa, sejak era Kasultanan Pajang. Sekelebatan, saya melihat bayangan tubuh yang ramping, dengan sorban putih. Sorot matanya teduh, memberi senyuman tipis. Ia sedang bersila, seperti melakukan semadi. Tapi sesekali wajahnya yang adem, diangkat mengedarkan pandangan.
Bayangan yang muncul bersama kesuyunyian itu, jauh berbeda dengan bayangan tokoh-tokoh lain, pada zamannya. Juga berbeda dengan Ki Ageng Pemanahan yang perkasa dengan tatapan tajam. Atau Ki Jurumertani yang selalu waspada, sebagai ahli strategi.
Bersama datangnya semilir yang menyebar aroma melati, bayangan itu menghilang. Saat itu juga, saya menyudahi semadi. Ada sengal yang menyedak pernafasan. Tapi segera saya usir dengan membuntukan jalan nafas, untuk berkonsentrasi mengatur kembali sirkulasi oksigin. Dan, berhasil. Alhamdulillah.(bersambung)