Inilah Pasarean ndalem Kyai Angeng Henis, kompleks pemakaman tua tempat Ki Ageng Ngenis dipusarakan.
Tidak jauh dari Museum Samanhudi, semestinya tempat bersejarah ini, tidak asing bagi para pecinta masa silam. Tapi itulah yang terjadi. Laweyan hanya dikenal sebagai kampung batik. Padahal tidak jauh dari Masjid Laweyan (orang juga mengenalnya sebagai Langgar Merdeka) disemayamkan Ki Ageng Ngenis, tokoh besar yang menjadi cikal-bakal sejarah kerajaan Mataram.
Ada tiga pintu yang menghubungkan makam utama, yang usianya sudah lebih dari 500 tahun ini. Tapi hanya orang-orang tertentu, atau minimal yang diizinkan juru kunci, bisa mencapai pusara Ki Ageng Ngenis. Sebab, pintu kedua, menuju nisan ayahanda Ki Ageng Pemanahan ini, selalu dikunci.
Saya datang sudah lewat siang. Masjid sudah ditinggalkan orang-orang yang berjamaah sholat dzuhur. Hanya ada seorang ibu tua, dengan daster warna sogan (juga terlihat tua). Ia menyambut dengan ramah. Lalu, menunjukkan arah menuju makam, yang berada di belakang masjid.
Pintu pertama, yang ditandai dengan tulisan Pasareandalem Kyai Ageng Henis Laweyan menyambut dalam sikap yang anggun. Semua tampak lawas, termasuk suasana yang mengiringinya; hening, tiupan angin yang menambah senyap, atau sesekali suara kemeresek gesekan daun.
Di pelataran, sebelum masuk gerbang utama pemakaman, ada tanah tidak terlalu lapang. Persis di sisi kiri jalan menuju gapura, dibangung bangsal untuk para peziarah. Terlihat kosong, siang itu. Hanya sebuah rak di sudut selatan, yang menyimpan banyak sekali gulungan tikar. Beberapa perlengkapan yang khas pesarean ada di sana. Juga padupan, tungku tempat membakar kemenyan, menyelip di bawah rak.
Bangsal ini, mengambil bentuk joglo yang kecil dan sederhana. Warnanya, jelas warna kayu jati. Tidak ada benda-benda, yang identik dengan keraton, meski Ki Ageng Ngenis adalah tokoh penting, dalam sejarah Keraton Mataram. Tapi ini, memang dibuat PB X, yang memindahkan salah satu bangsal di keraton.
Menunggu jurukunci datang, saya mengamati gapura yang terkunci. Disepuh warna kelabu, hanya ketuaannya, yang secara kasat mata menunjukkan, kawasan ini sangat dihormati. Gapura itu, seolah menjadi dinding segala kesakralan, yang kuat memancar di komplek pasarean keramat ini.
Saya menghitung, ada lebih 20 menitan, menunggu jurukunci. Kang Jio, yang tergopoh memanggil penjaga makam, tak berhasil menemuinya. Sedang menyiapkan, upacara pelepasan jenazah, katanya. Beruntung, pria bertubuh subur, dengan mimic lugu itu, dipercaya membawa kunci, lalu mengantar saya ke pusara sang kiai.(bersambung)