Joko Tingkir adalah legenda yang tak pernah mati. Ia hidup, hingga kini. Dengarkan saja, namanya abadi di hati orang Jawa. Kemasyurannya, selalu menjadi inspirasi. Sedang kesaktiannya, dipuja sebagai dedongengan.
Bagi orang Jawa, Joko Tingkir adalah tokoh yang selalu dicintai – dengan berbagai cara – tidak peduli meski para ahli kadang mencerca langkah politiknya selama mengabdi pada Demak.
Ialah trah Brawijaya V, raja terakhir Majapahit yang menandai anti-klimaks kejayaan Nusantara. Putra Ki Ageng Kebo Kenanga ini, dilahirkan sudah dengan pulung orang besar. Mas Karebet, nama sacral yang diberikan tokoh-tokoh sakti sahabat ayahnya. Sementara Pengging, tempat ia lahir, juga merupakan wilayah kuno yang penuh misteri. Dari trah Majapahit kemudian lahir di Pengging saja, sudah banyak rahasia semesta yang memayungi kemunculannya.
Selanjutnya, lihat saja hidupnya yang penuh tempaan. Sejak kelahirannya, Tingkir memang bagai jagoning dewa yang sengaja ditempa sejak kelahirannya. Ia, misalnya sudah lola alias terlunta karena ditinggal mati sang ayah saat kecil, lalu kehilangan ibu ketika belum remaja, Tingkir akhirnya diasuh oleh janda Ki Ageng Tingkir, sahabat ayahnya yang sakti. Tapi begitulah. Walaupun penuh aral, hidupnya seolah selalu dalam asuhan jagad raya.
Dibesarkan alam, karena hidup tanpa orangtua dan justru harus mengayomi janda Ki Ageng Tingkir, Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang tangguh. Kesaktian terasa hadir begitu saja, sebab ia memang berani prihatin, jago tirakat, serta gemar lelaku.
Kegandrungan nenepi, bertapa di tempat-tempat wingit, atau berguru pada tokoh-tokoh mandraguna, membawanya bertemu dengan Ki Ageng Sela, yang sama-sama trah Brawijaya V. Lewat Ki Ageng penakhluk tatit inilah, langkah Tingkir memiliki arah; menuju Demak: meniti anak tangga karir untuk memetik kemasyurannya sebagai raja masa depan.
Maka begitulah. Joko Tingkir memasuki gerbang istana, lewat aksi yang legendaries, melompat ke belakang dengan cara berjongkok, saat Sultan Trenggana menuju masjid agung Demak. Sejak itulah, ia mulai berada di lingkaran dalam, sebagai pengawal inti sang raja, sampai tragedy kesaktiannya (saat menghabisi Dadung Awuk yang jumawa) yang membuatnya dipecat.
Meninggalkan istana, Tingkir membawa kesedihannya ke makam Ki Ageng Kebo Kenanga, ayah sekaligus sisa priyagung Majapahit yang tak sempat ia kenal lebih dekat. Ia mengadukan jalan hidupnya, lalu diberi wangsit untuk minta restu sekaligus petujung Ki Ageng Banyubiru, salah seorang tokoh sakti yang masih sahabat ayahnya. (bersambung)