Namanya Empu Ramayadi. Memang agak asing di telinga pecinta keris. Sebab, ia memang amat jarang disebut. Hidup di era Sang Prabu Sri Maha Dewa Buda. Jadi, inilah empu keris paling tua. Raja yang menguasai tanah Jawa ini, memang lebih banyak dikisahkan dalam bentuk cerita tutur. Catatan yang ditemukan, hanyalah Kitab Primbon Kadilangu karya Pangeran Wijil.
Seperti kisah Sang Prabu Sri Maha Dewa Buda yang lebih banyak diyakini sebagai mitos, Empu Ramayadi, juga ikut diceritakan dalam balutan mitologi. Pusaka-pusaka yang dibuat ikut pula menjadi pusaka yang sering muncul dalam cerita tutur. Nama-namanya, layim terdengar di layar pewayangan: Konta, Pasopati, Sarotama, Cakra, Naggala, Trisula, Limpung, Dhuwung, Cundrik, Waos, Sabêt, Patrêm.
Nah, yang juga penuh mitos adalah cara pembuatan kerisnya. Empu Ramayadi, tidak menggunakan peralatan umum dalam membuat keris. Jika saat ini, para empu menggunakan api, palu, paron, kikir, wungkal, tidak dengan Empu Ramayadi. Ia memakai tangan telanjang. Hanya dengan kepalan, pijitan, dibakar dengan udara yang dikeluarkan dari mulut, didinginkan dengan lidah serta air liur.
Sejarah hidup Empu Ramayadi, tertulis dalam primbon yang berasal dari Kadilangu. Penulis Primbon ini adalah Kangjêng Pangeran Wijil. Hanya saja, tidak jelas Pangeran Wijil nomor berapa. Sebab, sangat banyak nama Pangeran Wijil, bukan hanya di Kadilangu tapi juga di Kartasura.
Pangeran Jayaprana yang dimakamkan di Pasar Gêdhe juga pernah disebut Pangeran Wijil, sebelum menjadi pujangga Mataram. Pujangga awal Kartasura awal, juga bergelar Pangeran Wijil, dimakamkan di Sêtana Nglawihan. Sementara pujangga Kartasura di masa-masa terakhir, memakai pula nama Pangeran Wijil. Makamnya di Setana Gendok, Demak. Dua pujangga Keraton Kartasura (awal dan terakhir) memang putra dan cucu Pangeran Wijil yang menjadi pujangga zaman Mataram.
Jika mau diurut terus-menerus, nama Pangeran Wijil, juga dipakai oleh pujangga di Surakarta awal, Kiai Jurumartani, dimakamkan di Pêngging. Sementara itu, Pangeran Wijil yang ada di Kadilangu, secara turun-temurun memakai gelar itu hingga turun kelima.(ICO