Cakra Manggilingan dalam Hidup Matsani

oleh -12 Dilihat
oleh
Api Cinta di Kaki Menoreh (2)
Oleh: Kangtomo Surosetiko

Gunung Merapi yang agung, tidak pernah sendirian, memaku bumi. Di sebelah barat berdiri sepasang Sindoro Sumbing. Seperti tengah menghadang kehadiran Merapi dan Merbabu. Di sebelah barat lagi terdapat Slamet. Berdiri di kejauhan ada Cermai, Pangrango, Tangkuban Perahu dan Gede. Semua bak lascar penyeimbang bagi mengalirnya sebuah tatanan kehidupan. Dari semuanya Merapi dan Merbabu yang memainkan peran. Menjadi fenomena kehidupan di sekitarnya.

“Gunung Lanang dan Wedok,” demikian masyarakat mengenal dan menirukan simboknya ketika bercerita tentang Merapi dan Merbabu. Sebuah tatanan kehidupan yang ada di alam raya ini. Merapi dan Merbabu layaknya sebuah masyarakat yang beradab. Masyarakat memiliki pertalian dengan supra sistem yang melingkupinya. Tanpa ada yang bisa ditawar. Intervensi adat istiadat mengikat gerak gerik serta keputusan-keputusan hidup.

Madsani menyaksikan Merapi dan Merbabu dari nun jauh di Menoreh. Jelas terlihat dari Menoreh, Merapi dan Merbabu tampak angkuh-anggun. Tegak kokoh namun bersahaja. Sesekali marah tapi juga menebarkan senyum. Madsani sosok petani bersahaja dan akan menebarkan senyum ketika menghadapi berbagai permasalahan hidup. Susah dan senang dijalani dengan penuh suka dan gembira, tidak ada keluh kesah, tidak ada sumpah serapah.

Madsani sudah terlalu akrab dengan kehidupan yang sederhana. Lebih dari itu bahkan jauh dari kehidupan sederhana, sangat sederhana. Memenuhi kehidupan sehari-hari saja Matsani harus berjuang, membanting tulang. Bekerja siang malam untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Meski demikian tidak ada penyesalan, tidak putus asa. Semua berjalan apa adanya. Semua berjalan sesuai arah jarum jam. Berputar dan terus berputar, mengikuti dinamika zaman. Tidak ada kata menyerah. Juga tidak ada dalam kamus dirinya menyesali semua apa yang terjadi dan menimpa diri serta lingkungannya.

Cakra manggilingan, demikian Matsani berujar kepada dirinya sendiri. Ada masanya roda berputar di atas, namun tidak selamanya di atas. Suatu ketika pasti berada di bawah, namun juga tidak selamanya berada di bawah. Berputar dan terus berputar. Sekali di atas, sekali di bawah. Seperti itu dinamika zaman yang akan terus berulang selama hukum dunia masih berlaku terhadap setiap makhluk.

Madsani sangat yakin. Kehidupan akan berubah, kehidupan akan menjadi baik seiring dengan perjalanan zaman. Hanya waktunya saja yang masih menjadi misteri. Kapan akan terjadi, apakah dalam waktu dekat ini atau anak-cucu dan cicitnya yang akan mendapatkan kehidupan lebih baik.

Madsani dan masyarakat Menoreh sekaligus menyaksikan Sindoro-Sumbing yang berdiri menantang. Meski tidak segagah dan seangkuh Merapi-Merbabu. Namun Sindoro-Sumbing sesekali menampakkan tajinya. Batuk-batuk terkadang mengeluarkan dahaknya.(BERSAMBUNG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.