Sekilas, tikungan ini, berbeda dari tempat-tempat lain sepanjang kami menyusuri punggung pegunungan Seribu itu. Jika di tempat lain, hanya batu-batu purba, atau rumah-rumah penduduk yang sepi dan sederhana, di sini lain. Ada keramaian yang tidak biasa.
Telihat, di sisi jalan sebuah gereja megah. Ada pula koperasi, lalu rumah-rumah yang sudah lebih tertata. Saya mengambil arah yang ditunjukan plang warna cokelat kayu yang seadanya itu. Jalan sempit selebar satu setengah depa. Aspal yang masih hitam pekat, menggambar kebaruannya.
Terus, menapaki aspal kemeriahan sudah mulai tampak. Beberapa orang bergegas menuju tempat yang sama. Hari memang masih agak siang. Baru lepas tengah hari, tapi suasana Padukuhan Mendak, sudah meriah. Kemeriahan, yang selalu berulang, setiap tahun, di bulan Oktober, saat hajatan sakral mengganti mori Kiai Panjala dilakukan.
Melewati hutan jati yang terlihat ajaib, karena menyembul di antara batu-batu tua berukir, langkah semakin jauh dibawa ke tengah perbukitan. Entahlah, beberapa kali ke sini, saya selalu gagal menghitung tanjakan dan tikungan yang membawa ke rumah Mbah Dwijo Sumarno. Tapi yang tak pernah luput saya rasakan benar, bahwa saya sudah berada di jantung pegunungan seribu yang berusia jutaan tahun.
Setelah sebuah jalan mendaki, pelataran rumah Mbah Dwijo sudah terlihat. Tanah yang lega, seluas tiga kali lapangan bulu tangkis. Setiap kali ke sini, saya senantiasa disuguhi ketakjuban yang tak pernah berkesudahan.
Lihat saja, bukit penuh batu berukir di kanan dan belakang rumah juru kunci Cupu Panjala ini. Tentu bukan tanpa sengaja, bukit itu ada. Sebab, saya membayangkan, ia adalah benteng kokoh yang melindungi naluri Kiai Sayek, yang telah mewariskan Kiai Panjala, sebagai pemandu kehidupan spiritual anak keturunannya.
Tidak hanya di kanan dan belakang rumah, benteng bukit batu berukir juga ada di sisi kiri, meski terbelah jalanan aspal yang menjadi penghubung antar warga. Sementara di depan rumah, setelah tanah merah yang lapang, adalah tegalan curam, yang berusaha mempersembahkan ketela pohon, selain beberapa rumpun bambu.
Saya memasuki lapangan itu, menyapa beberapa orang yang sedang sibuk. Rumah Mbah Dwijo memang sudah sangat ramai orang. Mereka menyiapkan upacara tahunan yang sakral. Sebuah upacara yang selalu mampu mengundang perhatian orang yang datang, bahkan dari tempat-tempat jauh.(bersambung)