Sugeng rawuh. Selamat datang di Cakruk kami. Cakruk para linuwih, karena yang biasa canda-candaan karo ubruk adalah poro sakti mandraguna. Gelarnya juga ngedap-edapi.
Ada Ki Mbero yang jago strategi, terutama jika sudah ketemu dengan Denwin. Ada juga Denpur yang biasa berkongsi dengan Densus jika sedang terjadi adu argumentasi. Lalu, diselingi PAT atau PMD yang selalu bijaksana. Juga PRD yang hanya sesekali muncul di Cakruk. Masih ada lagi tokoh sakti yang juga menangan, Ki Lowomargono.
Mereka adalah sosok-sosok sentral dalam Cakruk Komunitas Janturan I. Kalau mereka puasa bicara, misalnya saja pas Suro terus ada yang tirakatan, pati geni, Cakruk ikut mengkerut, nglangut. Jika sudah begitu, Densus akan mengeluarkan jurus sakti, “Njuk cunthel.”
Dan benar. Setelah celetukan njuk cunthel, Cakruk kembali bergairah. Lihat saja sejak sore tadi, semua sudah ubruk membahas semua hal. Tapi yang paling hot saat mengomongkan soal panggung ketoprak.
“Wong loro iki cocok nek main ketoprak,” kelimat pendek itu menjadi peluru tajam yang menghujam siapa saja. PMD menyahut, maka tanda-tanda suasana panas mulai terlihat. Tidak lama, tunggu saja beberapa kedipan mata.
Nah, rak tenan. Ki Mbero muncul dengana pernyataan yang langsung mengepuk pembicaraan. Jurus kuno yang ia miliki mulai dimainkan. Denpur dan Densus pasti sudah bersiap-siap menghadapi gempuran jurus sakti Tapaknogo yang hanya Ki Mberi pemiliknya. Jurus ini sekali dilesatkan, mampu menghantam beberapa sasaran penting. Sangat mematikan.
Seperti biasanya, Depur bukan tokoh sembarangan. Ia juga memiliki sipat kandel yang bisa diandelke. Tapi rupanya, Denpur justru mengarahkan jurusnya ke tempat lain, bukan menghadang Ki Mbero. Yang jadi sasaran kesaktian Denpur adalah kawannya sendiri, Densus yang tak siap dengan serangan dadakan itu.
“Nek sutradarane Densus..Mbahro mesti didapuk dadi tokoh jahat…” katanya, tertawa sampai keluar airmatanya berleler-leleran.
“Hooh. Sing matine disikso,” timpal Ki Mbero yang juga terkekeh-kekeh.
Tapi begitulah. Namanya juga di Cakruk, candaan waton ubruk. Pertarungan belum selesai, saat ada persoalan baru yang dibahas. Ya sudah, untuk sore ini, cukup sampai di sini. Esok masih ada waktu untuk ngobrol ngalor-ngidul. Tetap di Cakruk: Cerita karo ubruk.(*)