Suara-suara gemrenggeng orang mengaji, sudah mulai terdengar. Dan, begitu sampai di depan cungkup utama, suara itu semakin jelas. Saya menghitung ada lebih dari 10 orang, duduk bersila. Di depannya, cungkup yang bisu. Rumah pusara Kanjeng Sunan Kalijaga yang memang tak sembarang orang, boleh menyentuhnya.
Ikut duduk, mengambil jarak yang agak jauh di belakang, saya hanya memperhatikan. Benar. Di sini terlalu riuh orang berziarah. Tempat yang sengaja disedikan untuk tetamu, juga kelewat bagus. Kenyamanan itulah yang membuat aura mistik terpancar lemah. Saya hanya bisa merasakan sedikit saja getaran, sangat jauh ketika saya duduk di dalam masjid.
Baiklah. Saya tidak ingin membatin terlalu jauh. Saya segera memusatkan seluruh indra, mengatup menjadi satu, menuju hening. Yang memang agak sulit, adalah menutup pendengaran. Terlalu keras suara orang mengaji yang beradu dengan mereka yang berdzikir. Tapi pelan, saya biarkan suara itu, justru mengiringi usaha untuk menghening. Dan, benar. Suara itu berubah menjadi dengung syahdu, yang membawa khusuk.
Khusuk yang ditingkah dengung seribu lebah itulah, yang sangat lama saya nikmati. Sengaja, saya tidak ingin menembus alam batin. Saya tahu, kanjeng sunan pasti sudah mengetahui apa yang membuat saya sowan ke pusaranya. Keinginan untuk tidak menyentuh alam kebatinan Njeng Sunan itulah, yang membuat saya justru tenang; seperti diayun oleh suara yang membuat tenteram.
Pelan. Sangat pelan, saya mendengar tembang Ilir-ilir, semilir dibawa angin. Tembang itu, disuarakan oleh laki-laki yang memiliki vokal berat. Dalam diam, dengan mata mengatup, dengan hati yang pasrah diayun khusuk, saya mendengar tembang itu timbul-tenggelam di antara dengung dzikir.
Tembang itu, Ilir-ilir yang sumilir, dilafalkan satu demi satu. Bait demi bait, dengan jeda yang memberi ruang, untuk suara dzikir sebagai latar. Tubuh saya menggigil. Meremang, merinding mendengar cara melagukan Ilir-ilir yang seolah dijadikan bowo, dengan iringan paduan suara dzikir.
Sampai bait terakhir, saya masih menikmati tembang itu. Tapi tiba-tiba, suara hore yang panjang, ramai, seperti diteriakan beribu orang, mengagetkan. Jenggirat. Saya membuka mata, ingin mencari tahu dari mana, ribuan suara hore yang membahana itu. Namun tidak ada. Yang saya temui, tetap orang-orang di depan tangga pusara Kanjeng Sunan Kalijaga. Hanya 10-an orang yang sedang berdzikir.
Saya membetulkan letak duduk. Bersila dengan rapi, kemudian mengirim doa-doa. Terakhir, untuk beberapa saat, saya ikut melafalkan dzikir. Ingin, rasanya saya berterima kasih karena telah diberi keberkahan. Benar. Saya menganggap, tembang Ilir-ilir yang saya dengar secara gaib itu, adalah sangu, bekal yang diberikan Kanjeng Sunan.
Ilir-ilir adalah tembang sederhana, yang dahulu saya akrabi saat menjadi anak kampung, duduk di tepian sawah, menikmati angin, melihat para among tani giat. Lagu itu, juga hadir kala saya, bersama anak-anak lain, memandangi purnama yang menemani malam liburan di pelataran. Sebuah lagu sederhana. Lagu Lugu dari Kadilangu. Saya akhirnya, diajak kembali, belajar lugu dari Kadilangu.(bersambung)