Paidi merasa senang. Mirah tampak bergairah. Keduanya semakin kompak saja. Dalam banyak hal mereka berdua. Termasuk ketika menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan guru kepada mereka. Mereka memiliki kesempatan lebih banyak untuk berdua. Ketika berangkat sekolah, mereka sama-sama menggunakan sepeda. Sesekali kalau lagi tidak menggunakan sepeda masing-masing mereka berboncengah.
Paidi mengayuh sepeda. Mirah di belakang. Sengaja Paidi melambatkan kayuhan sepedanya. Selain mereka dapat menikmati kebersamaan, mereka juga merasa nyaman ketika berdua-dua. Paidi dan Mirah seperti sejoli yang tidak hendak terpisahkan. Waktu dan kesempatan selalu menyertai. Di kemudian hari mereka juga berharap untuk dapat bersama-sama. Meski mereka tidak pernah mengungkapkan perasaan secara langsung.
Paidi sudah merasa seperti kakak buat Mirah. Setiap ada kesulitan yang harus diharapi Mirah, Paidi dengan sukarela membantunya. Dalam pandangan Paidi membantu Mirah merupakan kesempatan untuk bercengkerama lebih lama. Sebaliknya Mirah merasa sangat memerlukan Paidi. Dalam banyak hal Mirah lebih banyak membutuhkan pertolongan Paidi. Mengambil jantung pisang misalnya. Mengambil pepaya untuk tambahan sayur. Paidi sangat bersemangat membantu Mirah.
Masgul Paidi menghadapi masa depan. Apalagi memikirkan Mirah yang dalam pandangannya menjadi sangat cantik. Dibandingkan teman-teman sebayanya. Di kelas terlihat lebih menonjol. Juga kemampuannya dalam beradaptasi dengan sesama teman. Dalam beberapa mata pelajaran bahkan Mirah termasuk lima besar di kelasnya. Kemampuan lebih yang melekat dalam diri Mirah justru mengkhawatirkan Paidi.
Meski berangkat dan pulang sekolah bersama, namun justru makin membuat perasaan Paidi galau. Semakin dekat Mirah tampak makin cantik. Semakin berkembang, bertambah mempesona. Bagai bunga, Mirah mengundang banyak kumbang yang siap menghisap sari bunga. Kumbang-kumbang itulah yang justru mengkhawatirkan Paidi. Dalam hati Paidi tidak rela kehilangan Mirah.
Mirah dalam pandangan Paidi menjadi sangat cantik. Ketika mengenakan seragam, rambut dikepang dua panjang sebahu. Pas benar dengan penampilannya yang lincah. Kulitnya yang tidak putih tetapi bersih. Sawo matang namun menyiratkan kewibawaan. Perawakannya tidak tinggi, namun proporsional. Badannya tidak besar, namun serasi benar dengan penampilannya yang berisi.
Bukan hanya itu. Pandangan paidi tidak salah. Ketika mendengar ibu-ibu yang tengah bercengkerama. Mirah tidak jarang menjadi bahan pembicaraan. Apalagi kalau bukan sikapnya yang sopan. Penampilannya yang menarik. Juga parasnya yang elok, menawan-mempesona. Kalau ibu-ibu saja sudah memberikan nilai baik. Apalagi bagi kali-laki yang tengah menghadapi masa remaja seperti Paidi.
Dalam hati Paidi merasa bangga. Entah mengapa. Setiap kali nama Mirah disebut, hatinya berdebar. Sembari menyunggingkan senyum, Paidi berpaling seolah tidak terjadi apa-apa. Hanya Paidi merasa dekat benar dengan nama yang disebut-sebut. Bukan apa-apa, juga bukan siapa-siapa. Teman sekolah dan di kampungnya sesame teman sekolah tidak hanya Paidi-Mirah. Masih banyak teman yang lain, namun entah mengapa Mirah memiliki tempat tersendiri di hati Paidi. (bersambung)