Biyungnya menanyakan beberapa hal, berkaitan dengan belajar. Sama sekali tidak menanyakan kabar wusanane Mirah. Sengaja hal itu disimpan saja agar tidak menambah luka hatinya yang masih memerah.
Biar waktu saja yang akan menyembuhkan kerinduan. Mudah-mudahan datang pertolongan Yang Maha Kuasa. “Nggih. Paringi dongake mawon. Mugi lancar, mboten wonten alangan,” jawab Paidi, lirih.
Pendek dan datar. Tidak ada yang meletup-letup, juga tidak ada tanda-tanda adanya permasalahan yang menggelayuti pikirannya. Semua berjalan lancar. Mudah-mudahan saja begitu adanya.
Tidak banyak hal yang dibicarakan. Setelah mbagekke, mereka sibuk dengan kegiatan mereka. Biyung kembali ke dapur dan belakang rumah, ramaknya ke serambi depan rumah sambil menunggu waktu menjelang malam. Paidi sibuk dengan kertas dan tulisannya.
Malam-malam menjelang tidur mereka kembali ke lincak, di samping rumah. Mereka berbincang ringan tentang masa lalu. Tentang Imperium Mataram yang menguasai seluruh tanah Jawa, bahkan sampai tanah sabrang. Leluhur kita, sekecil apapun ada di dalam perjuangan mempertahankan Mataram.
“Zaman sudah berlalu,”
“Sekarang zamannya berbeda,”
“Semua itu sudah menjadi sejarah,”
Madsani mulai membuka percakapan, Madanom dan Paidi mendengarkan. Tidak banyak yang memberikan komentar. Semua baik-baik saja, berjalan apa adanya. Semua seperti perjalanan sejarah. Jatuh bangun kehidupan manusia, seperti roda, cokro manggilingan. Ada kalanya di atas, saat yang sama berada di bawah.
Yang penting sekarang bagaimana menjalani kehidupan ini secara normal. Zaman yang akan datang berubah, seperti para leluhur sudah memperkirakan dalam buku-buku primbon. Tanah Jowo bakal kendhit wesi, Kali ilang kedhunge, pasar ilang kumandange. Wong dodol camcao nang nduwure mego mendhung.(bersambung)