Gempa besar yang melanda Palu, Sulawesi Tengah, kemarin, menjadi duka bagi bangsa Indonesia. Korban berjatuhan, sementara keriguan material tak terhitung. Kedukaan ini, ikut dirasakan tidak hanya para korban tapi juga rakyat Indonesia.
Gempa dengan kekuatan 7,7 Magnitudo yang juga diiringi tsunami, membuat Sukardi Karso merenung panjang. Ketua 1 Badan Koordinasi Paguyuban Kulon Progo (Bakor PKP) ini, merasa sangat terpukul dengan kejadian ini. Sebab, hanya berselang beberapa jam setelah ia meninggalkana Palu, gempa mengguncang.
Sebagai tenaga ahli dalam soal pemetaan tanah, pria asli Desa Tawangsari, Pengasih, Kulon Progo ini, memang selalu berkeliling Nusantara. Dan, sepanjang lima hari usai Rapat Kerja Bakor PKP, Pak Kardi terbang ke Palu.
“Hari Sabtu dan Minggu, tanggal 22 dan 23 September, saya ikut Raker Bakor PKP di Puncak. Hari Senin, 24 September 2018, saya ke Kota Palu. Selasa, 25 September 2018, saya bergerak dari Palu ke Kabupaten Buol, Seharian di Buol tanggal 27 September 2018 kembali ke Palu. Tidak menginap, langsung terbang ke Jakarta,” jelasnya dengan perasaan nelongso.
Pak Kardi sama sekali tidak menyangkan, hanya beberapa jam setelah ia meninggalkan Kota Palu, gempa besar mengguncang. Padahal selama berada di Palu, ia pasti mengindap dan biasa sholat atau duduk-duduk di Masjid Terapung yang nyaman. Tapi kemarin, ia merasa harus segera pulang ke Jakarta, karena ada perasaan tidak ingin singgah sebentar di Palu. “Ini masjid terapang di Kota Palu yang menjadi langganan saya subuhan, milik Pertamina yang terkena Tsunami,” kenangnya sambil menunjukan foto di depan masjid terapung.
Ini, tambah pria ramah yang senang becanda itu, adalah peristiwa yang di luar kuasa manusia. Semua ini hanya bisa terjadi karena kehendak-NYA. “Maha besar Allah dengan segala Kuasa-NYA. Saya sedih meskipun saya terhindar dari bencana alam ini. Hati rasanya masih ngilu melihat gempa Palu,” tegasnya.
Bagi Pak Kardi pengalaman terhindar dari bencana bukan sekali ini saja terjadi. Beberapa tahun lalu, saat tragedi jatuhnya sebuah pesawat di Medan, ia seharusnya ikut menjadi korban. Tapi karena tugas sehari sebelumnya membuat lelah, ia terbangun kesiangan dan ketinggalan pesawat.
“Saya sebagai konsultan transmigrasi akan bertugas ke Medan. Presentasi ke Dinas Transmigrasi dan PPH saat itu, penerbangan dari Soekarno-Hatta jam tujuh pagi. Tapi karena persiapan ke Medan yang melelahkan, jadinya kecapekan dan kesiangan,” kenangnya dengan sisa duka.
Setiap kali teringat peristiwa ini, Pak Kardi selalu merinding. Sebab, kalau tidak bangun kesiangan, ia akan menjadi salah satu korban pesawat tersebut. Saat itu, ia bangun jam sembilan pagi, ada berita dari RRI bahwa pesawat Garuda GA 115 jatuh menubruk Gunung Tinumbala Medan. 600 penumpang dinyatakan menjadi korban.
Hari itu, Sukardi melapor ke Kementerian Transmigrasi tidak bisa melakukan pemaparan karena terlambat bangun.”Tapi justru karena itu, semua orang kaget. Mereka teriak-teriak, Sukardi masih hidup…Sukardi masih hidup. Semua orang kaget, lalu mencium tangan saya semua. Benar-benar mengharukan melebihi acara ulangtahun waktu itu,” katanya.
Pulang ke rumah, Pak Kardi masih belum percaya bahwa dirinya hidup. Tuhan memberi lelah yang sangat agar terhindar dari maut. “Hidup, jodoh, rezeki, pepesten, iku kabeh kuasane Gusti Allah,” tegasnya mengakhiri pengalamannya yang seolah diberi kesempatan kedua untuk hidup.(kib)