Mlipir dari Nganjir, lalu turun ke arah Mbeji dan mampir ke Dapur Semar, menikmati suasana masa lampau. Sebentar, naik lain tapi dari Mbeji menikung kanan lalu menyusuri rel kereta. Nah, sampai di Njosutan, nelusup jembatan bawah rel yang dicat warna-warni.
Lurus menanjak hingga ke pertigaan. Berhenti di pojok jalan, terlihat tiga gasebo dari kayu tua. Itulah rumahnya Mbah Jumari, dalang dari Njosutan yang gapyak. Begitu menginjak tanah, yang terlihat adalah adalah pria dengan tawa yang khas. Ini dia Mbah Jumari yang sedang mempersiapkan batin untuk menjadi dalang ruwat.
“Wee iki ono dayoh seko adoh,” Mbah Jumari menjabat dengan sangat erat sambil melempar candaan yang diakhiri dengan tawa panjang. Mendengar gaya tertawanya itu, ingatan segera terlempar pada masa tiga dekade silam.
Benar. Memang sudah lebih 30 tahun kami tidak saling bertemu. Dia sudah menjadi dalang bagus meski mendalang hanya sekadar klangenan. Profesi utamanya adalah pemborong dengan pekerja yang tidak sedikit.
“Malem Minggu ngarep, tindak ndene yo, bareng-bareng nang Wonosari, aku wayangan nang kono,” katanya dengan semangat yang tidak pernah surut jika berbicara soal wayang yang dicintainya sejak masih kecil.
Saya ingat, saat kemping di zaman SMP dulu, Kang Jumari sudah berani tampil mendalang. Saat itu, ia memang sudah dikenal menggemari karawitan. Saat itu, Kang Jumari juga ikut ekstrakulikuler Karawatian dan menjadi murid kesayangan Pak Bagus.
Selepas SMP, Kang Jumari sudah malang-melintang ikut grup wayang. Ia pernah ikut, hampir semua dalang di Jogjakarta. Mulai dari yang senior sekelas Ki Timbul, hingga Pak Gito yang merupakan dalang kesayangan masyarakat Jogja.
Kini, setelah usianya mendekati setengah abad, simbah satu cucu ini, sudah mempersiapkan diri menjadi dalang ruwat. Memiliki cucu memang menjadi salah satu syarat untuk bisa menjadi dalang ruwat. “Dadi dalang ruwat ki yo abot. Ora oleh sembarangan, umpamane wes nduwe putu seko anak kandung, udu kok waton putu seko keponakan. Terus kudu resik atine, ora keno ngrembuk bab pemetu,” katanya.
Bertemu Mbah Jumari, rasanya memang tidak cukup hanya dengan waktu yang sekejap. Butuh waktu panjang, karena banyak cerita yang menarik. Terutama soal pedalangan yang di Kulon Progo perkembangannya agak lambat.
Dari dalang angkatannya, yang sampai saat ini masih lestari mendalang hanya beberapa orang. Mbah Jumari yang pernah belajar di sekolah pedalangan milik Keraton Jogjakarta, Habiranda, merasa beruntung pernah nyantrik pada dalang-dalang bagus. “Ndalang ki sing penting jumbuhing roso,” tegasnya.
Dan, dengan jumbuhing roso itu tadi, Ki Jumari atau saya memanggilnya Mbah Jumari atau kadang-kadang Kang Dalang, memang memiliki penggemar tersendiri. Mereka adalah pecinta wayang yang tidak neko-neko, bukan pecinta wayang yang hanya ingin mendapatkan hiburan. “Sing ora saben dalang iso kuwi, nyondro suasono,” katanya Ki Jumari yang bulan Mulud nanti sudah dipesan untuk mendalang di Wonosobo.
Nyondro suasono yang dimaksud Mbah Jum adalah menggambar suasana hati para penontonnya saat itu. Ini memang tidak mudah, sehingga tidak semua dalang bisa melakukannya. Dalang gagrak Ngayogyokarto yang lihai melakukan ini adalah Ki Timbul Hadiprayitno. “Ya nek Romo Timbul ikut jagone,” ungkap Kang Dalang.(*)