Hari yang berkemul mendung, sudah menuju sore. Hujan memang hanya merinai sebentar, selepas Dhuhur, tapi kini, adem menyapa di beranda senja. Dari kawasan Jombokarto di sisi mBanaran, tulisan ini mengalir, membawa ke masa silam.
“Sore-sore enake main gobak sodor,” kalimat itu terngiang dalam ingatan meski sudah bertumpuk dalam banyak file ingatan masa lampau. Ajakan itu, berasal dari anak-anak usia sekolah dasar, kepada para sahabat. Biasanya, mereka berkelompok paling tidak dengan enam atau tujuh orang.
Gobak sodor adalah permainan populer di tlatah Jogjakarta. Di Jombokarto alias Jombokan, gobak sodor umumnya dimainkan anak-anak SD atau anak-anak di awal kelas satu SMP yang masih ada ‘bau-bau’ SD.
Cara mainnya sangat sederhana, dengan mengandalkan kecepatan bergerak. Buatlah garis atau penanda dua jarak, kira-kira tiga meteran. Lalu, pingsut. Yang kalah berjaga, tentu saja menjaga jarak yang diandaikan sebagai pintu yang harus dilompati atau dimasuki tim yang menang pingsut. Begitu seterusnya sampai empat atau lima pintu yang semua dijaga dengan segenap ketangkasan.
Nah, tim yang menjadi penerobos pintu, akan kalah dan berganti jaga, jika dapat diraih penjaga pintu saat melompati demarkasi. Dari sinilah, keseruan terjadi, karena semua akan berusaha sangat keras memenangkan pertarungan. Yang jaga pintu sudah pasti ingin menggagalkan lawan, sementara yang melompati pintu ingin memetik kemenangan.
Permainan tradisional ini, konon memang berasal dari Jogjakarta, dimainkan oleh para prajurit Mataram saat sedang gladen atau berlatih perang. Mereka menamakan permainan itu sebagai permainan sodoran. Menggunakan senjata tombak tumpul.
Memang, sodor adalah nama lain untuk menyebut tombak. Sedang gobak, bisa dimaknai sebagai bebas bergerak. Dua kata itu menjadi kunci permainannya. Tim yang menjaga pintu akan menyodor lawan, tapi pada perkembangannya tidak memakai sodor atau tombak, tapi cukup dengan menyentuhkan tangan.
Dari arena gladen prajurit Mataram, permainan sodoran meluas hingga ke banyak tempat. Di luar tangsi prajurit, lalu menyebar ke luar, namanya menjadi Gobak Sodor. Dimainkan oleh anak-anak, sore hari. Atau malam hari di waktu bulan ndadari.
Popularitas gobak sodor terus meluas, mengalir hingga ke tempat-tempat jauh. Di berbagai tempat, permainan ini, memiliki nama yang berbeda-beda. Di tanah Pasundan atau di Betawi, namanya Galasin. Ada juga yang menyebut Galah Asin.(mg)