Palar. Sebuah dusun, yang tentu jauh dari kesibukan. Angin yang semilir, meski kadang bertiup agak kencang, adalah nyaris satu-satunya irama abadi yang mengisi kesenyapan. Dan, di sanalah, Raden Ngabei Ranggawarsita sumare, beristirahat panjang, ditemani irama alam. Desa Palar, masuk wilayah Kecamatan Trucuk, Klaten.
Dari pusat kota kecil Klaten, komplek makam, berjarak 10 kilometer arah tenggara. Di sini, pusara sang pujangga, menyatu dalam situs kuburan kuno seluas 100 meter. Meninggal tahun 1873, Ranggawarsita hidup panjang,dalam usia 71 tahun. Kepergiannya, bukan saja meninggalkan banyak teka-teki, tapi sekaligus pertanyaan tak terjawab. Terutama, yang tertulis dalam Kitab Sabdajati; ketika ia mengetahui secara persis tanggal dan hari kematian, lengkap dengan tahunnya.
Pemiilhan desa Palar sebagai peristirahatan terakhir, adalah wasiat terakhir ahli nujum kebanggaan orang Jawa itu. Ia memang sangat mencintai Palar, tanah tempat leluhurnya berasal. Itulah yang membuatnya berpesan, agar makamnya, tidak jauh dari pusara sang kakek, Sudiro Dirjo Gantang.
Saya memasuki komplek makam tua ini, saat matahari sedang sangat memancar di Palar. Terik yang seolah tumpah dari langit, membuat berada di dalam makam, terasa lebih nyaman.Saya segera melakukan ritual persemadian, sesuai tata carabertamu di pusara para leluhur; melafal doa-doa, mengirim dzikir, lalu berusaha menembus kegaiban yang kini menjadi panggung sang pujangga.
Selesai, saya ingin berlama-lama duduk menemani Radeng Ngabei Ranggawarsita. Siapa tahu, mendapat oleh-oleh. Atau minimal, bisa menyerap ketenangan batin, sebagai bekal menjalani hari-hari di alam bebrayan.
Saya lihat agak menonjol penampakan makam tokoh yang semasa kecil dikenal sebagai Bagus Burham ini. Nisan terbuat dari batu pualam putih, dihias huruf Jawa. Dari tulisan itulah, jejak kekunoan makam, terekam jelas.
Ada empat pilar di sekelilingnya untuk menyanggakelambu putih. Sementara di depan kepala makam, peziarahbiasa meletakan kantil dan kembang tujuh rupa. Itu, yang membuat suasana terasa dingin bercampur mistis, setiap kali duduk, merenung, tepekur, bersemadi, memuja Tuhan; saat mengenang kebesaran pujangga pamungkas tanah Jawa ini.
Begitu masuk cungkup, pemandangan mistis segera menjalar. Mata juga akan langsung tertuju pada kijing besar, berada di sebelah utara di posisi paling barat. Tanpa harus mendekat, para peziarah akan langsung yakin, nisan jumbo itu, milik Raden Ngabei Ranggawarsita yang kondang kaonang-onang itu.
Persis di sebelahnya, ada makam putra tunggalnya, Raden Manguwardono. Juga istrinya. Sementara di deretan selatan, beristirahat para cucunda. Ada lima kijing di sana. Pusara penulis kitab Kalatida ini, sempat mengalami guncangan hebat, saat Jawa Tengah diguncang gempa besar. Cungkup atau bangunan makam yang menaungi pusara, doyong. Rumah berukuran besar itu memang bangunan tua, yang diresmikan tahun 1955 oleh Presiden RI saat itu, Bung Karno. Meski pondasinya masih kuat, tiang-tiangnya terkoyak. (bersambung)