Madsani menyaksikan anak-anak yang berlarian sambil telanjang dada. Madsani yang masih menunggu kelahiran anak pertamanya menitikkan air mata. Tanpa diketahui apa yang menjadikan air matanya meleleh, hanya satu yang terbayang di depan matanya. Menyaksikan buah hatinya yang segera hadir di bebrayan agung. Menyaksikan alam padhang yang penuh dengan berbagai kemungkinan.
Ketika menyaksikan anak-anak buncit perutnya, Madsani menjadi kecut, hatinya menjadi miris. Mampukah mengantarkan anak-anaknya menjalani kehidupan seperti didambakan. Akankah anak-anaknya seperti kebanyakan anak yang berlarian di halaman depan rumahnya. Mampukah mengantarkan anak-anak mereka menjalani kehidupan yang layak.
Anak-anak terus berlarian, sementara Madsani bercucuran air mata. Mereka tidak saling menyapa, tidak saling mengetahui. Mereka asyik dengan dunianya sendiri. Mereka tidak tahu apa yang tengah terpikirkan. Mereka juga tidak tengah mengawasi satu sama lain. Mereka hanya berada di satu lokasi yang kebetulah saja sama. Namun mereka sama sekali tidak saling berhubungan satu dengan lainnya.
Hanya satu yang terbayang dalam benak Madsani, bagaimana anak pertamanya lahir sehat, selamat dan tidak kurang satu apapun. Lebih dari itu anak-anak yang bakal dilahirkan menemui kehidupan yang aman, tenteram dan sejahtera. Madsani hanya tidak mengharapkan keadaan yang tengah disaksikan di depan mata menimpa anak-anak mereka.
“Tidak,” Madsani berteriak memecahkan keheningan, seperti tengah menjawab pertanyaan sendiri. Sejurus kemudian mengembangkan pikiran dan menerawang jauh ke masa depan. Mempersiapkan anak-anak dan generasi masa depan yang lebih baik. Bekerja dan bekerja untuk dapat memenuhi kehidupan, mengantarkan anak-anak ke kehidupan yang lebih baik.
“Anak-anakku harus sekolah. Harus pintar dan dapat menjalani kehidupan yang lebih baik,” Madsani yakin dengan pikirannya sendiri. Bagaimanapun anak-anak tidak boleh telanjang dada, telanjang kaki apalagi telanjang bulat.
Meski tidak lagi hidup di lingkungan kraton yang aristokratis. Keluarga dan terutama anak-anak harus tetap menjalani kehidupan yang layak. Makan dan baju harus tersedia secukupnya, meski tidak harus yang baru dan bagus. Namun makan yang layak dan pakaian pantas menjadi keharusan.
Untuk menjadi anak yang mumpuni, sekarang tidak lagi harus bertapa, semedi dan menyepi. Zaman sudah berubah, anak-anak tidak dapat lagi untuk berpuasa 40 hari tanpa henti. Ngelmu menjadi kata kunci untuk mencapai kehidupan yang sehat dan sejahtera. Untuk mengarungi kehidupan di alam raya membutuhkan ilmu, seperti kehidupan akhirat yang mutlak memerlukan seperangkat ilmu.
Bukan hanya anak-anak dan masa depannya yang membuat kesedihan makin mendalam, orangtua, para tetangga dan sanak kerabat. Semuanya menghadapi penghidupan yang sama. Semua menderita di tengah kehidupan yang serba terbatas. Namun apalah daya, tangannya hanya dua, kakinya hanya dua dan banyak keterbatasan lain.
Hari ini pikirannya hanya satu bagaimana anaknya lahir selamat, ibunya selamat dan kehidupannya juga selamat. Jangankan sanak kerabat dan tetangga, dirinya sendiri hampir tidak sempat memikirkan. Susah makan, susah minum bukan hanya karena sulit mendapatkannya. Terlebih pikirannya tengah tidak dalam konsentrasi penuh.
“Pageblug terjadi di mana-mana,” pikirnya menyaksikan penguburan mbakyunya. Belum genap sepekan paman dan keponakannya mendahului kembali ke pangkuanNya. Semua menjadi pemandangan yang tidak aneh lagi, semua berjalan seperti apa adanya.
“Esok loro, sore mati. Mbengi loro, esok mati.” Semua menjadi pemandangan yang terjadi di mana-mana. Mbokde, mbok cilik, prunan, sepupu, misanan dan hampir tiap-tiap keluarga sudah ditinggalkan orang terdekatnya. Masih ada lagi sodara jauh yang tinggal di seberang sungai mengalami nasib serupa. (bersambung)