Tiba-tiba di Minggu sore yang santai, dua hari lalu, seorang kawan mengirimkan foto kenangan. Jadul tapi membanggakan. Paling tidak, masih ada jejak masa muda yang terekam. Juga jejak, saat kita masih kurus dan kinyis-kinyis.
Melihat foto itu, film kehidupan memutar gambar Kebun Binatang Gembiroloko. Benar, foto itu diambil di Gembiroloko Jogja, tahun 1988. “Sesuk bakalane larang iki foto. Ojo ngangsi ilang,” kata Heri yang bergaya paling top di Bonrojo yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, kala itu.
Beneran. Setiap kali ke Gembiroloko, yang kemudian muncul memang adalah gambar lima pemuda Jombokan yang sedang bertamasya. Mereka adalah Mas Tulus, Dik Heri, Lek Winardi, Atojetong, dan Wawan. Di sebuah sudut, di gerumbul dengan batu-batu dari kali Gajah Wong, sebuah foto diambil melukis kehidupan mereka yang selalu gumbiro di Gembiroloko.
Berdirinya Gembiroloko adalah proses panjang yang tidak kunjung selesai. Digagas oleh HB VIII, baru 20 tahun kemudian, Kebon Rojo dapat diwujudkan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX memilih Ir Karsten yang dikenal sebagai ahli bangunan dari Belanda, untuk mewujudkan mimpi orangtuanya.
Rencana mewujudkan mimpi yang sudah tertunda 20 tahun, rupanya masih belum bisa berjalan dengan baik. Perang Dunia II menghambatnya. Apalagi, begitu penjajah Jepang masuk, suasana Jogjakarta semakin tidak menentu.
Keinginan mendirikan Bonrojo baru benar-benar bisa direalisasikan setelah delapan tahun Indonesia Merdeka. Saat itu, tahun 1953. Tepatnya 10 September 1953, Yayasan Gembiroloko didirikan untuk memulai pembangunan Bonrojo.(kib)