“Monggo kulo derekaken sowan Kyai Hageng Pemanahan,” kata Ki Bekel Hastono Sumitro, lembut.
Saya masih mengatur pernafasan, usai dihantam hawa dingin yang misterius. Untuk beberapa saat, saya masih berada di dekat nisan buntung. Ki bekel, juru kunci yang sudah 25 tahun menjadi abdi dalem keraton, masih menemani saya. Berbincang tetang banyak hal, termasuk banyak sasmita yang dikirim Pasarean Kasenapaten ini.
Ki Bekel Hastono Sumitro benar. Saya memang harus kembali ke pusara Ki Ageng Pemanahan. Ini memang kesalahan saya yang belum bersimpuh, mengirim doa-doa, minta restu ayahanda Panembahan Senapati itu. Keengganan saya, menyimbak antrean para peziarah, di depan Senapati dan Pemanahan, membawa akibat penolakan Ki Jurumertani.
Sudah menjelang sore, saat saya akhirnya, kembali menyisir sisi timur cungkup agung ini. Masih ada beberapa peziarah yang tertunduk khusuk. Terutama di undakan depan makam Ki Pemahanan. Dan, ke sanalah saya harus sowan, untuk minta palilah, izin, restu, agar tidak mendapat reridu apapun.
Saya tidak tahu, mungkin keberuntungan, atau karena para peziarah terlalu menjaga jarak (agar tidak disebut menabrak kesopanan), sehingga mereka mengambil posisi duduk agak di belakang. Jadilah, saya berada sangat dekat dengan pusara Kyai Hageng Pemanahan, yang sangat dihormati
Maka itulah yang terjadi. Setelah saya sowan ke Ki Pemanahan, kemudian kembali ke pusara Ki Jurumertani, semua berjalan sangat lancar. Tak ada lagi pukulan hawa dingin yang menggigit sumsum tulang. Saya justru mendapat kelegaan, udara yang semilir, serta bayangan yang saya anggap bayangan Ki Juru.
Saya memang tidak ingin menegaskan secara wantah, setiap mendapat bayangan, sasmita, atau tanda-tanda. Begitu bayangan yang saya anggap kehadiran Ki Jurumertani, semadi saya khusukkan. Kali ini, usaha menembus keheningan mudah dilakukan. Memang tidak bisa menembus alam kelanggengan tempat Ki Juru bersemayam.
Berada dalam senyap, saya menyenderkan seluruh gerak kehidupan. Rasa penat, saya usir untuk meresapi seluruh kedamaian ini. Di depan pusara Ki Jurumertani ya Ki Mandaraka, rasanya mendapat kekuatan untuk selalu menatap masa depan.
Saya masih fokus. Tapi sedetik sebelum menghentikan semadi, saat ada sebuah hembusan, ada daun jatuh. Daun pohon nagasari. Mungkin, daun itu, daun benaran yang tertiup angin, dari pohon nagasari yang berada di luar gerbang cungkup. Tapi saya memaknai sebagai keberkahan. Saya membawanya, menggenggam sebagai oleh-oleh dari Ki Juru.(bersambung)