Jejak Ki Ageng Selo, serta tokoh-tokoh besar di tiga kerajaan agung (Demak, Pajang, Mataram) tentulah bertalian dengan sejarah hidup Ki Ageng Tarub. Dialah Sunan Tarub atau dalam legenda dikenal sebagai Joko Tarub.
Makamnya yang keramat, berada satu wilayah dengan pusara Ki Ageng Selo, yang di tengah khalayak namanya lebih moncer. Makam itu, sama-sama di Kecamatan Tawangharjo, Grobokan. Hanya dipisahkan oleh jalan besar serta perkampungan.
Tapi memang, seperti umumnya tokoh besar di masa silam, banyak versi tentang hidupnya. Juga tentang makam, tempat kebesaran namanya dipusarakan. Ki Ageng Tarub, adalah salah satu pendekar sakti pasca runtuhnya Majapahit, yang memiliki banyak makam, petilasaan, serta cerita-cerita berbalut legenda.
Selain yang berada di Desa Tarub (Grobogan) tempat lain yang disebut memiliki makam (atau petilasan) Ki Ageng Tarub antara lain, Desa Tarub (Karanganyar), Desa Sani (Pati). Malah, di Tegal juga ada keyakinan bahwa Ki Ageng Tarub dimakamkan di sana, tepatnya di Desa Tarub, Adiwerna. Atau Desa Bulupitu, Kutawinangun, Kebumen.
Barangkali tidak ada yang salah, daerah-daerah tersebut di atas sebagai tempat dimakamkan Ki Ageng Tarub. Paling tidak, layaknya orang sakti zaman dulu, Ki Ageng juga banyak melakukan penggembaraan – dan petilasannya tersebar di banyak tempat. Bagi saya, memang tidak ada persoalan. Namun yang akrab dan sering saya kunjungi adalah pusara Ki Ageng yang berada di Desa Tarub, Tawangharjo, Grobokan.
Dari cerita tutur, atau setidaknya yang pernah dikisahkan oleh KRT Hastono Adipuro, jurukunci makam Ki Ageng Tarub, semua dimulai dari Dewi Kasian pasca ditinggal Arya Penanggungan, suaminya menghadap Tuhan.
Kesetiaan sang dewi, membuatnya tak mampu berpaling pada orang lain. Nyaris sepanjang jam, setiap hari, dihabiskan untuk menunggui makam suaminya itu. Ini terus terjadi, sampai Syeh Maulana Maghribi datang membawa putranya yang masih merah. Dalam legenda, dilukiskan, bayi merah itu dibawa menggunakan bokor emas. Sebuah tempat bayi yang tidak lazim itu, terlampau mewah, untuk Dewi Kasihan yang papa.
Tidak hanya mewah. Bokor kencana itu, juga menebar sinar. Ini yang membuat Dewi Kasihan kembali ke makam suaminya, selepas malam. Sinar yang sekaligus menandai bahwa jabang bayi di makam Arya Penanggungan itu, memiliki garis keturunan orang penting. Bukankah, aura yang bersinar, selalu digambarkan milik orang-orang yang di dalam darahnya mengalir trah raja-brahmana?
Bayi itulah, yang kemudian dikenal sebagai Joko Tarub, sosok tangguh, tampan, penuh kesaktian. Dengan kesaktian itu pula, ia mampu memperistri Dewi Nawangwulan, bidadari yang kamanungsan, karena tak lagi bisa terbang setelah selendangnya disembunyikan.
Pernikahan inilah, yang kelak melahirkan nama-nama besar, dalam kumparan sejarah raja-raja Jawa, yang penuh kisah serba mistik. Putri Joko Tarub dan Nawangwulan adalah Dewi Nawangsih, yang dijodohkan dengan pemuda keturunan Brawijaya V, yang suatu saat dititipkan kepadanya; Raden Bondan Kejawen ya Raden Lembu Peteng.
Garis raja-raja Mataram diturunkan, lewat Bondan Kejawen, setelah Dewi Nawangsih melahirkan putra yang kelak dikenal sebagai Ki Ageng Getas Pandawa. Berikutnya, tiga generasi ke depan (setelah melewati Ki Ageng Sela, Ki Ageng Ngenis, Ki Ageng Pemanahan) lahir raja Mataram bergelar Kanjeng Panembahan Senapati.
Kisah Joko Tarub, bagi masyarakat tradisional Jawa merupakan, romantika yang syahdu, terutama pada episode pernikahannya dengan Nawang Wulan. Lewat pentas ketoprak, legenda itu, diabadikan sebagai lakon menyedot perasaan, selain banyak pitutur kebaikan yang bisa dipetik dari legenda tersebut.
Tapi siapa sesungguhnya Joko Tarub itu? Menurut versi yang umum, dialah putra Syeh Maulana Magribi, yang sengaja ditinggalkan di makam Arya Penanggungan dalam bokor kencana; calon pemimpin spiritual yang dipersiapkan secara batin (jauh dari kemewahan) untuk menurunkan raja-raja tanah Jawa. (tamat/kib)