Ki Ageng Ngenis-5: Disebut Ki Ageng Luwih karena Linuwih

oleh -369 Dilihat
oleh

Hidup pada kejayaan Sultan Pajang, Ki Ageng Enis atau Ki Ageng Henis atau Ki Ageng Ngenis, termasuk tokoh tua yang disegani. Ia adalah putra bungsu Ki Ageng ‘Penangkap Petir’ Sela.

Namanya menjadi sangat penting, karena ia merupakan ayah Pemanahan, yang dikenal sebagai penurun wiji ratu tanah Jawa.Jika Pemanahan diberi hadiah tanah perdikan di Menthaok, sang ayah mendapat tanah perdikan di Laweyan.

Di tempat ini pula, Ki Ageng Ngenis menghabiskan usianya sebagai tetua yang dihormati. Jejak peninggalannya, berupa masjid Laweyan, menjadi tonggak sejarah perkembangan Islam karena inilah masjid tertua di kota Solo.

Laweyan, sebelum kedatangan Ki Ageng Ngenis adalah kawasan yang penduduknya menganut agama Hindu. Masjid yang dikenal hingga sekarang sebagai Masjid Laweyan, konon, adalah sebuah pura yang dikepalai Ki Ageng Beluk – yang setelah masuk Islam menyerahkan pura tersebut, menjadi tempat ibadah bagi Ki Ageng Ngenis dan pengikutnya.

Sebagai perkampungan yang dibina Ki Ageng Ngenis, Laweyan akhirnya menjadi pusat penyebaran Islam tempo dulu. Danang Sutawijaya juga pernah tinggal di Laweyan, pada masa jauh  sebelum bersama-sama sang ayah, mengabdi di Kasultanan Pajang. Dari sinilah, Sutawijaya juga dikenal dengan sebutan Ngabei Loring Pasar.

Bersama sejumlah pengikutnya, Sutawijaya berguru pada kakeknya itu, hingga mendapat warisan banyak kesaktian. Sebagai sesepuh dan wiratama Pajang, Ki Ageng Ngenis memang dikenal sosok sakti, linuwih, dan mandraguna. Ini yang membuatnya, juga sering disebut Ki Ageng Luwih (luwih berasal dari kata linuwih).

Hubungan kampung Laweyan dan masjid peninggalan Ki Ageng Ngenis dengan Keraton Surakarta Haniningrat juga erat. Sebagai penerus kerajaan Mataram yang dibangun Ki Ageng Pemanahan, Laweyan menjadi tempat keramat buat raja-raja Jawa.

Pakubuwana II, bahkan pernah bersembunyi di Masjid Laweyan saat pecah pemberontakan Raden Mas Gerandi. Di makam Ki Ageng Ngenis, Pakubuwana bertetirah, melakukan tirakatan, memohon pertolongan kepada Tuhan agar mampu merebut kembali Kartasura yang diduduki pasukan Mas Gerandi.

Buah dari tetirah di Masjid Laweyan, kemenangan dipetik Pakubuwana II yang berhasil mengembalikan kekuasaannya. Lalu, PB II membangun gerbang yang dibuat khusus, jika dirinya hendak berziarah ke makam Ki Ageng Laweyan. Tapi kehendak memang selalu kalah oleh garis hidup. Pakubuwana hanya sekali saja, memakai gerbang itu, sebab usianya yang tidak panjang, usai membangung kori di komplek Laweyan.

Setelah mangkat, Susuhunan Pakubuwana II dimakamkan tidak jauh dari pusara Ki Ageng Ngenis, yang masih terhitung leluhurnya. Sebagai makam raja, kompleks ini, akhirnya mendapat sebutan Astana Laweyan. Tapi akhirnya, jasat PB II dipindahkan ke Imogiri, yang dibangun Sultan Agung untuk memakamkan para raja Mataram.(kib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.