Arah kaki ke timur, menyerong ke selatan, menyisir Bengawan Solo. Mata batinnya menuntun ke Ndlepih, tempat wingit yang amat jarang dijamah orang.
Tapi rupanya, di sana ia tak sendirian. Sebab, berjumpa Ki Penjawi dan Nyimas Waskitajawi. Panjawi adalah sahabat ayahnya. Sedang Nyimas Waskitajawi, putri Ki Panjawi yang tengah bersemadi.
Melihat Nyimas yang elok dan gemar bertapa, Sutawijaya tergetar. Batinnya membisikkan bahwa, perempuan ini akan menjadi wanita utama, baboning ratu tanah Jawa. Maka kepada Ki Penjawi, ia meminta putrinya untuk dijadikan calon permaisuri.
Di Dlepih, Penjawi, Sutawijaya dan Nyimas Waskitajawi tinggal di rumah Ki Puju. Seorang petani yang akrab dengan alam Dlepih. Ki Puju tinggal bersama anaknya, Roro Semangkin.
Dari rumah Ki Puju, perjalanan Raden Danang Sutawijaya mencari kekukuhan hati sebelum menjadi raja, dilanjutkan. Ia ingin bertirakat di hutan Dlepih, menapak-tilasi jejak Kanjeng Sunan Kalijaga.
Perjalanan menuju hutan Dlepih, dilewati dengan sangat payah. Bukan saja hutannya yang masih lebat, tapi godaan penunggunya, yang tidak mudah diajak kompromi. Tapi tentu saja, Sutawijaya bukan orang sembarangan yang mudah menyerah, apalagi untuk menakhlukan makhluk halus penunggu hutan Dlepih.
Sampai tengah hutan, ia menemui dua batu besar yang bagai berhimpitan. Bentuknya pipih lebar, ujung bertemu, membentuk gapit atau pisau lipat. Rongga di bawah batu yang saling bersinggungan itu, bisa dilewati. Kini, batu yang tampak anggun itu, dikenal dengan sebutan Sela Gapit karena bentuknya menyerupai gapit. Tapi ada juga yang menamai Sela Panangkep, karena terbentuk dari dua batu yang saling berpelukan.
Sutawijaya melewati Sela Gapit, menuju selatan. Di sana, ia bertemu dengan batu yang tak kalah ajaib. Batu besar yang berongga, membentu gua. Bentunya datar dengan atap melebar, membentuk payung. Melihat itu, Sutawijaya tertarik untuk bersemadi di bawah batu yang kemudian dikenal dengan sebutan Sela Payung atau Sela Pamelengan.
Setiap waktu sholat datang, Sutawijaya bergerak ke selatan, menuju batu yang membentuk sajadah. Batu ini, orang menyebut Sela Gilang, yang bentuknya mendatar, warna hitam. Selain disebut Sela Gilang, para peziarah mengenalnya sebagai atau batu pesalatan.
Hari-hari Sutawijaya dihabiskan di tengah hutan. Aktivitasnya mesu raga, bertirakat, memuja Tuhan. Sore hari, sebelum petang, ia mandi di sebuah di sungai tempuran dekat batu pesalatan. Kini orang mengenalnya sebagai Kedung Pasiraman.(bersambung)