Selesai sholat, saya melipir ke kanan masjid, menuju pesarean. Di kiri jalan yang berkonblok, nisan-nisan tua berjajaran. Beberapa diberi cungkup sederhana, yang menggambar usianya.
Regol masih tertutup, meski tidak dikunci. Itulah pintu, untuk masuk ke makam utama. Sebuah gapura dengan pintu model kupu tarung. Bercat hijau pupus, ada ornament buah naga di puncak gapura.
Saya buka, dan mengucap salam kepada para leluhur yang bersemayam di pemakamaan keramat itu. Segeralah, tujuh kicing panjang terbuat dari watu padas warna kuning, menyambut. Kijing atau nisan itu, berada di luar cungkup utama, tetapi berada di dalam cepuri yang gerbangnya selalu tertutup.
Empat nisan di sebelah kanan, peris di dekat tembok. Mereka yang sumare di sana adalah Kanjeng Raden Adi Negoro bersama istri di posisi paling utara. Lalu di bawahnya, atau di sebelah selatan, Raden Ayu Pagedongan serta Raden Ayu Kodok Ijo.
Tiga kijing lainnya, berada di dekat cungkup utama. Berjajar dari barat ke timur, masing-masing Ki Ageng Ngerang yang mepet tembok cungkup, Nyai Ageng Ngerang di sebelahnya, serta Kanjeng Pangeran Haryo Mas Demang Brang Wetan.
Saya duduk di kaki nisan, mengirim doa untuk tokoh-tokoh itu. Pintu cungkup utama dikunci, jadi harus menunggu juru kunci. Usai menitipkan doa, saya beranjak karena terik terasa membakar. Satu satu, saya mengamati cepuri sederhana itu. Di pojokan, di ujung utara, ada kotak kaca yang menyimpan sisa gethek milik Joko Tingkir. Namanya Gethek Tambak Boro.
Dalam diam, saya duduk menyandarkan punggung di tembok cungkup. Madep ke timur. Tiba-tiba datang angin kencang, membuat rumpun bambu di luar cepuri bagian utara, meliuk rendah, lalu berputaran. Suara daun yang bergesekan, tak ubahnya suara-suara mistik yang membawa suasana nglangut.
Siang itu, dalam hening yang misterius, gesekan antar daun bambu, mampu melemparkan angan ke abad lampau. Saya pejamkan mata, berusaha membuka pintu dialog dengan kesilaman. Bersama itu, angin yang menarikan rumpun bambu berhenti. Diam, hanya terik yang terasakan. Lama, suasana itu, bagai mencekam jiwa. Saya buka mata, menyapu pandangan, tidak ada siapa-siapa. Melulu hanya kijing yang membisu.
Lebih dari 20 menit, saya terjebak dalam diam yang mencekam, sebelum akhirnya juru kunci datang. Seorang yang masih muda. Bersarung kembang-kembang, serta baju bermotif kontemporer. Tidak berkata-kata, ia membuka gembok kecil, yang mengunci cungkup. Lalu, bergeser ke sisi kiri, menunggu di ruangan penjaga makam.
Saya masih belum masuk cungkup, melainkan menunggu beberapa saat, karena kembali datang, angin dari utara. Bukan angin kencang, tapi sekadar hembusan yang mengirim sejuk. Saya menarik nafas dalam, kemudian berucap salam, saat berada di ambang pintu masuk.
Ajaib. Kabut tipis membayang di depan saya. Entah hanya karena ilusi, atau beneran. Tiba-tiba kabut tipis itu, menggambar sebuah bentuk. Seperti kepala dengan udeng (semacam ikat kepala yang biasa dipakai tetua kaum tani).
Saya segera menyebut itu udeng, karena bentuknya mirip-mirip blangkon, tapi ada segitiga yang lancipnya menghadap ke bawah, peris di depan kening. Jika masih susah membayangkan seperti apa udeng itu, sebaiknya membuka foto lama Panglima Besar Sudirman. Persis seperti itu. (bersambung)