Hari Ini, Merenungi 188 Tahun Penangkapan Njeng Pengeran Diponegoro, Sultan Abdulhamid Erucokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifatullah Tanah Jawa

oleh -152 Dilihat
oleh

Hari ini, 28 Maret 2018. Sebuah peristiwa ironis yang ikonik terjadi, 188 tahun lalu. Itulah akhir Perang Jawa yang dramatik saat Kanjeng Pangeran Diponegoro, sang Ratu Adil Tanah Jawi, ditangkap.

Bulan puasa berakhir pada 27 Maret 1830. Bersama itu, berakhir pula sejarah Perang Jawa yang nggegirisi. Sebab, pada hari kemenangan tanggal 1 Syawal, Kanjeng Pangeran Diponegoro justru kalah oleh tipu daya Jenderal de Kock.

Hari itu, hari-hari terakhir perjuangan sang pangeran, dihabiskan di Meteseh. Aliran Kali Progo menjadi saksi bisu sebelum putra Sri Sultan Hamengku Buwono III ini, berangkat ke Kantor Karisidenan Kedu yang hanya beberapa meter, bertemu penguasa militer Belanda untuk bersilaturahmi di hari pertama Idul Fitri.

Perjuangan dan perjalanan sang Ratu Adil, sudah sangat panjang. Lima tahun memimpin Perang Jawa, tapak kaki Diponegoro tersebar, nyaris di seluruh tlatah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tapi Menoreh dipilih menjadi persinggahan terakhir sebelum menyudahi perang akibat siasat de Kock yang pekok.

Jejak Kanjeng Pangeran di sekitar perbukitan Menoreh, menyebar mulai dari Magelang, Kulon Progo, Begelen, terus ke barat hingga Kebumen. Selama menjalani pekan terakhir sebelum memasuki Bulan Ramadhan,   Diponegoro berada di Remokamal, Begelen, Purworejo. Lalu, menyisir ke timur menapaki Menoreh, sebelum menetap di Meteseh.

Memang, Menoreh menjadi kunci pertahanan Perang Suci Jawa. Sejak mengangkat bendera perang, kemudian membangun markas pertama di Selarong, Kanjeng Pangeran Diponegoro memilih Dekso, di punggung Menoreh yang masuk tlatah Kulon Progo. Menurut buku Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro buah karya Dr Purwadi, M.Hum, pangeran kekasih rakyat kecil ini, memindahkan markasnya di Selarong ke Dekso pada 4 November 1825.

Sepanjang hampir satu tahun di Dekso atau juga disebut Jekso, pasukan Diponegoro memetik banyak kemenangan. Sebab sepanjang awal Perang Jawa berkobar, puncak kemenangan terjadi antara 1825 hingga 1826.  Itu artinya, saat kajeng pangeran bermarkas di Dekso, karena selanjutnya markas digeser lagi pada 4 Agustus 1826, seperti tertulis dalam buku tulisan Doktor Purwadi.

Di Dekso pula, Raden Mas Ontowiryo yang merupakan putra sulung Ngarso Dalem Sri Sultan HB III, dinobatkan sebagai sultan oleh rakyatnya. Gelarnya, Sultan Abdulhamid Erucokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifatullah Tanah Jawa.

Begitulah. Erucokro dalam penggalan Jongko Joyoboyo diyakini sebagai Ratu Adil yang akan membawa tanah Jawa mencapai keselarasan hidup. Dan, Diponegoro, bagi orang Jawa adalah sang Erucokro, atau lengkapnya Sultan Abdulhamid Erucokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifatullah Tanah Jawa.

Bangsawan tinggi ini, merupakan putra pertama HB III, tapi memilih tidak menerima tahta Mataram Jogjakarta karena merasa lahir dari gawa ampil. Namun demikian posisinya di Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat, bukan tak penting. Bahkan, pada masa pemerintahan HB V, sang Ontowiryo inilah yang menjadi pendamping raja yang baru berusia tiga tahun itu.

Sebagai putra raja, sejatinya Ontowiryo lebih banyak bergaul dengan eyang buyutnya, Ratu Ageng. Permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono I itu, masih sugeng dan mesanggrah di Tegalrejo dekat dengan rakyat. Kedekatan itulah yang ikut diteruskan Raden Mas Ontowiryo, bahkan hingga ia mengobarkan Perang Jawa sejak 1825.

Lahir 11 November 1785 di istana Mataram, Kanjeng Pangeran Diponegoro yang penuh kharisma ini, tutup usia di pengasingan: 8 Januari 1855, 25 tahun setelah kisah penangkapannya yang dramatik di tanggal ini, 28 Maret, 188 tahun silam. (kib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.