“Lik Yah, dolan yuk,” Paidi kecil mengajak temannya bermain. Ada banyak permainan di siang hari. Berbeda dengan malam hari, ketika purnama permainan cenderung dilakukan secara beregu. Kalau permainan siang hari dapat dilakukan individual. Ada main karet, main tali, main bekel, main congklak, dan main dakon. Anak laki-laki main gundhu, main gambar dan main layangan.
Lik Yah yang disebut Paidi tergolong anak penurut. Mereka dapat bermain bersama-sama. Laki-laki dan perempuan dapat bermain karet atau tali. Mereka dapat bersama-sama main kasti, main gundhu dan main gambar. Di kesempatan lain mereka bersama-sama main layang-layang di pinggir sawah. Tidak jarang mereka mancing di kali, mencari kayu bakar dan ngangon di pematang sawah.
Paidi sering bermain bersama anak-anak perempuan. Selain merasa menjadi pemimpin di antara mereka. Juga menjadi pusat perhatian di antara teman sepermainannya. Meski terkadang diolok-olok sebagai teman perempuan sehingga teman lelakinya menjauh. Semua itu tidak menjadi masalah benar. Kesempatan itu bahkan sering menjadi tempat belajar bagi Paidi kecil.
Selain Lik Yah yang penuh pengertian karena usianya jauh lebih dewasa. Ada juga teman-teman lain perempuan sepermainan. Ada Mirah, Mijah, Minem dan Milah. Umurnya sebaya, di sekolah dasar mereka duduk di kelas yang sama. Berangkat sekolah bersama. Belajar bersama dan ketika di rumah bermain bersama. Terkadang orangtua mereka mengundang makan bersama-sama.
Jadilah mereka teman sepermainan. Teman sepelajaran dan bahkan terkadang menjadi teman semeja makan. Tidak aneh di antara mereka menjadi semakin akrab. Di sekitar rumah mereka bermain tidak ada rasa canggung. Di sekolah mereka juga sepermainan. Ketika pulang sekolah tidak jarang mereka bermain di pematang sawah sebelum sampai di rumah masing-masing. Mencari belut yang menggali lubang di sepanjang pematang sawah, menjadi kebiasaan mereka berdua sepulang sekolah. Di kesempatan lain mereka mencari ikan bersama-sama sebelum pulang sekolah.
Mirah menjadi teman paling akrab Paidi. Selain karena semua itu, rumah mereka bersebelahan. Mirah dan Paidi paling banyak bermain bersma dibandingkan Mijah, Minem dan Milah. Mirah menjadi makin akrab ketika mereka lebih sering ngobrol banyak hal. Baik harapan di masa depan, atau suka duka dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika di rumah Paidi selalu menyempatkan diri bermain bersama Mirah. Di kalangan teman-teman sebayanya muncul anggapan setiap kali ada Paidi di sana ada Mirah. Sebaliknya ketika di situ ada Mirah hampir dapat dipastikan ada Paidi menyertainya. Mereka masih bersaudara. Mereka tinggal di kompleks yang sama. Umur keduanya juga sama, bahkan bulan dan tahun kelahiran keduanya sama. Hanya satu yang membedakan hari pasaran dan tanggalnya saja.
“Paidi dolan yuk,” demikian Mirah suatu kesempatan.
“Mirah dolan yuk,” lain kali Paidi yang menghampirinya.
Mereka selalu dolan, bermain berdua. Kalaupun mereka bermain bersama-sama selalu ada Paidi dan Mirah. Keduanya hampir tak terpisahkan. Hampir juga menjadi sejoli yang selalu seiya-sekata. Badan keduanya juga hampir sama. Tinggi tidak jauh berbeda. Sampai-sampai warna kulit mereka hampir sama pula. (bersambung)