Hari-hari selanjutnya sudah seperti biasa. Paidi seperti sediakala. Kelincahannya tidak berubah. Kenakalan-kenakalan kecil muncul di setiap waktu. Semua itu dilakukan Paidi hanya untuk mendapatkan sanjungan. Mendapat sorak-sorai dan decak kagum. Paidi rela melakukan apapun yang dirasa dapat mengundang keheranan di antara teman sebaya dan orang-orang di sekitarnya.
Di kesempatan lain, Paidi mengikuti teman-temannya menjeburkan diri ke sungai yang tengah menggelegak banjir. Banjir yang meluap-luap tidak menyurutkan nyalinya. Agar tidak ada yang ngeledek lagi. “Anak gembala kok nggak bisa berenang,” Tidak akan ada lagi teman-teman sepermainannya yang mencibir sebagai Paidi sebagai anak yang tidak dapat berenang.
Sungai yang membelah desa terlalu besar untuk menelan tubuh mungil Paidi. Tubuhnya yang kecil terbawa arus yang terlalu kuat untuk dilawan. Terseret dan hanyut bersama air yang menggelontor membawa apa saja yang ada di dalamnya. Paidi hanyalah sebutir debu di air yang membahana. Menemukan dirinya dengan kekuatan dahsyat pertanda alam tengah menguasainya.
Kali Jali masyarakat mengenal sungai yang tidak dapat digolongkan kecil. Ketika banjir bandang menjerjang, Kali Jali membawa apa saja yang menghalangi. Pohon kelapa hanyut seperti sebatang lidi. Sama halnya dengan pohon-pohon yang tergerus air di pinggirnya. Serumpun bambu yang memiliki ribuan akar tercerabut dan terbawa serta.
Apalagi Paidi seorang diri yang kurus kering, belum pandai berenang. Juga tidak mengetahui bagaimana menyiasati air yang datang menggelegak. Sudah barang pasti terhanyut bersama kekuatan air yang dahsyat.
Paidi yang belum juga disunat, umurnya kira-kira 10 tahun. Ketika duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, Madsani dan Madanom diminta hijrah ke kampung halaman Madanom. Banyak pertimbangan yang harus diambil. Sebagai anak pertama Madsani harus tetap di tabon, menjaga trah leluhurnya. Tidak dapat begitu saja meninggalkan kampung halaman untuk kepentingan yang lebih besar sekalipun.
Sementara Madanom juga anak pertama dari keluarga yang semua perempuan. Padahal sawah dan ladang tetap perlu digarap agar memberikan hasil maksimal. Orang tua Madanom mulai beranjak senja sehingga memerlukan orang kepercayaan yang dapat meneruskan menggarap sawah dan ladang.
Pilihan pasangan Madsani dan Madanom yang dipercaya meneruskan perjuangan menggarap sawah dan ladang. Selain menggarap sawah dan ladang, banyak kesempatan maju memperbaiki kehidupan di kampung Madanom. Sangat mungkin bahkan Madsani menjadi kepala desa.
Keluarga Madanom tergolong terpandang di kampungnya. Selain dituakan, juga pengaruh leluhurnya yang berasal dari orang-orang terdahulu di kampungnya. Memiliki trah yang masih kuat berkait dengan prajurit Mataram yang berangkat ke medan perang di Batavia ketika itu.
Kesepakatan diambil. Madsani mengikuti Madanom mengurus orangtuanya yang mulai berangkat senja. Meski dalam hati kecil Madsani menolak, namun berbagai pertimbangan mengalahkan akal sehatnya. (bersambung)