Api Cinta (113): Maria Menghampiri Paidi di Pojok Perpustakaan

oleh -316 Dilihat
oleh

Pekan pertama seperti itu, Paidi membiarkan saja. Mungkin memang ada yang perlu mentertawakan dirinya. Atau sedang mentertawakan keadaan, bahkan mentertawakan lingkungan dan zamannya.  Masih seperti awal pekan kemarin, setiap kali berpapasan mahasiswa selalu saja mentertawakan dirinya.

Sampai sebulan sesudah kejadian, keadaan tidak berubah. Pandangan mahasiswa beberapa di antaranya menjadi sinis.  Mahasiswa yang biasa bertemu di Masjid Kampus seperti menghindar. Di antara perempuan mahasiswa sengaja membuang ludah ketika berpapasan.

Entah mengapa.  Terkucil dalam kesendirian. Paidi merasa tidak enak. Aktivis yang banyak bergaul merasa kesepian ditinggal khalayak ramai. Dunianya menjadi sempit tanpa kawan seperjuangan. Teman berdiskusi dan membicarakan berbagai masalah yang membelit sebagian besar warga.

Paidi mencari tahu, apa gerangan yang membuat situasi dan kondisi demikian. Namun tidak mudah, karena hampir semua mahasiswa menghindar. Tiga serangkai yang biasanya berlama-lama di kampus juga menghilang. Seperti ditelan bumi, mereka menyisihkan Paidi dari pergaulan.

Kribo. Ya kribo satu-satunya karib yang masih dapat diajak bicara secara terbuka. Sengaja Paidi menghadang Kribo sebelum sampai gerbang kampus.  Tergopoh Paidi menghampiri karibnya. Sedangkan lawan yang diajak ngobrol juga dingin, meski masih memberi kesempatan untuk berbicara.  Kribo tidak memberi sambutan hangat seperti biasanya.

Kribo ternyata juga menghadapi masalah yang sama, sama seperti kebanyakan orang di kampus. Semua seperti menghakimi Paidi. Mengacuhkan dan menyingkirkan dari pergaulan. “Bantu aku kribo.”

“Hanya kamu karibku,”

“Apakah kamu sama saja,”

“Sama seperti mereka juga,”

Paidi mendesak, memelas. Berharap Kribo karibnya dapat membantu. Mencari tahu apa gerangan yang membuat semua orang menjadi asing. Semua mata seperti menelanjangi. Melihat dari ujung rambut sampai ujung kaki, tanpa henti.

Seperti itu setiap kali, setiap  orang terutama setiap perempuan. Mereka bahkan sengaja membuang ludah ketika berpapasan. Semua orang tidak ramah. Semua menuduhnya sebagai penjahat, kesalahannya tidak dapat dimaafkan. Kesalahan turun temurun yang harus diwariskan kepada generasi sesudahnya. Semua menjadi tidak berlaku adil, menghakimi sebelum proses peradilan berlaku.

Maria menghampiri Paidi yang duduk di pojok perpustakaan kampus. Maria mengajak Paidi ke kantin kampus. Ngobrol di kantin sambil minum berlama-lama mengasyikkan. Apalagi tema pembicaraan sedang hangat. Hanya kali ini bahan pembicaraan bukan masalah besar, tapi masalah Paidi. Masalah pribadi yang menjadi hingar bingar warga kampus seluruhnya. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.