Berada di kampung halaman, bertemu dengan ramak dan simbok, ada perasaan tenang merayapi hati Paidi. Ia larut dalam suasana desa yang tentram. Ayem, hidup dijalani dengan lambat dan mat.
Kembali melihat orangtuanya, kerut kerentaan semakin banyak terlihat. Padahal, ia merasa, belum lama tinggalkan kampung halamannya untuk meneruskan sekolah. Itupun di kota yang tidak terlalu jauh dari tanah kelahiran. Tapi kerut ketuwaan, seperti nyata.
Tidak hanya kerut keriput, suara orangtuanya, juga terdengar berbeda. Jika dulu lembut penuh kemerduan, kini, mulai diselingi glorok dan batuk-batuk kecil. Masih semerdu hari-hari sebelumnya memang, namun tetap ada yang tidak biasa.
Kemarin malam, saat orangtuanya mendongeng di lincak rumah, Paidi memperhatian secara diam-diam kondisi kedua orang yang dihormatinya itu. Ia menjadi trenyuh oleh suasana nostalgia yang seperti sengaja ingin dibangkitkan oleh ramaknya. Nostalgia tentang para leluhurnya yang ikut membangun negeri agung Mataram, meski ikut dalam lingkup sangat kecil, misalnya saja menjadi kawulo yang setia ngawulo.
Mendengar untuk kesekian kalinya, hikayat para leluhur, memang membua Paidi kembali bermimpi. Mimpi menjadi orang yang berguna, setidaknya untuk kesusahan orangtuanya yang sudah sejak lampau hidup dalam laku prihatin.
“Urip iku urup le. Ngurupi lan nguripi kiwo-tengenmu.” Kalimat terakhir ramaknya sebelum malam semakin pekat, tersimpan dalam lipatan hati Paidi. Ia berjanji akan menjadi nyala bagi kehidupan di sekitarnya.(bersambung)