Andai masih hidup, kemarin penyair paling penting Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, berusia 93 tahun. Ia lahir di Blora, 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta pada 30 April 2006.
Saya menulis catatan ini, untuk mengenang sastrawan yang pernah terlibat dalam sengketa politik karena aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Tapi tentulah, bukan karena ia Lekra kemudian saya ingin mengenangnya. Sebab, jika kita menyingkirkan urusan politik sejenak, fakta menunjukan Pram adalah pengarang produktif yang karya-karyanya mendunia.
Nyaris semua buku yang ditulis meledak. Lalu diterjemahkan dalam banyak bahasa di dunia, selain menjadi bahan kuliah di kampus-kampus. Dan, semua pecinta sastra, bisa dipastikan pernah membaca salah satu karya Pram.
Pamor Pramoedya Ananta Toer, sebagai penulis kenamaan, tak pernah pudar, meski ia menjadi penggerak Lekra serta dihukum puluhan tahun selama Orde Baru. Buku-bukunya terus mengalir: Bumi Manusia, Gadis Pantai, Arus Balik, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dan banyak lagi.
Pernah ikut mengangkat senjata melawan kolonila Belanda, Pram memang sudah berurusan dengan penjara sejak masa revolusi. Lalu, selama satu tahun, ia ditahan oleh penguasa Orde Lama. Tapi yang paling panjang, tentulah saat selama 14 tahun menjadi tahanan Orde Baru.
Penulis lebih dari 50 buku laris ini, hidup dalam tekanan luar biasa. Juga ketika sudah dibebaskan dari penjara pada 21 Desember 1979. Saat saya masih berkeliaran mencari berita, terakhir bertemu dengan pemilik nama Pramudya Ananta Mastoer ini, di sebuah diskusi sastra.
Penampilannya, seperti biasa, sederhana. Tubuhnya mulai ringkih, kurus dengan jalan tak lagi tegak. Rambutnya sudah memutih semua. Saat itu, ia memang tidak leluasa bergerak, meski sudah bukan tahanan. Kegiatannya selalu diawasi. Di forum-forum kesusastraan, ia juga agak menepi, meski sering menghadiri banyak disksui.
Hari itu, saya bergegas menghampirinya, saat melihat ia meninggalkan ruang diskusi. Lalu, duduk di pinggir tangga tanpa menghiraukan sekitarnya yang hiruk-pikuk. Yakinlah, tak akan ada yang mengengelainya sebagai orang besar, andai tidak banyak bergaul dengan dunia kesenian. Sebab, penampilannya kelewat bersahaja.
“Apa kamu berani menulis untuk koranmu,” Pram bertanya dengan nada biasa-biasa saja, di antara obrolan kami. Pertanyaan itu, segera menyadarkan saya untuk menulisnya. Sebab ia benar. Saat itu, memang belum ada yang berani menulis tentangnya, statmennya, bahkan karya-karyanya pun masih beredar di bawah tanah di antara para aktivis dan pecinta sastra.
Akhirnya, kami memang hanya ngobrol ngalor-ngidul. Agak aneh juga, penyair besar yang biasanya irit cerita itu, mau ngobrol panjang, sebalum akhirnya beranjak meninggalkan diskusi yang tidak sepenuhnya ia ikuti.
Andai masih hidup, Pramoedya Ananta Toer, berusia 93 tahun. Saya tidak ingat lagi, apa isi percakapan kami saat itu, selain pertanyaan pendeknya yang terus-terang membuat saya menyadari situasi hidupnya yang masih serba sulit. (kib)