Hari ini, 080818. Tanggal delapan bulan delapan tahun dua ribu delapan belas. Saya ingin menulis tentang sebuah foto. Foto lama yang mulai menguning, mengelupas pinggirannya, tapi melukis kebahagiaan yang tak lekang.
Ada bapak yang masih gagah. Rambutnya, kumisnya, serta rahang yang kokoh ditempa suara kereta yang bising. Ya, bapak memang tiap hari bergelut dengan kebisingan kereta api karena ia memang orang kereta. Di sampingnya, ibu juga masih ayu. Setidaknya untuk ukuran bapak saya to…
Lalu, kakang nomor loro, adi nomor caket lan adi let siji. Bayek yang dipangku ibu adalah adi nak sanak. Anak mbarebnya Lek Kemat. Semua terlihat sangat ndeso, meski di zaman itu, zaman tahun-tahun awal 80an, wes kethok ampuh tenan.
Saya menuliskan ini, tentulah karena saya ada dalam momentum yang membahagiakan ini. Paling ora, iso melu nduwe kenangan tentang masa silam. Masa yang saat ini, memberi rindu tak bertepi. Melankoli memang, tapi yo sekali-sekali boleh to, bersendu-sendu barang sedelo.
Oke. Mari bertamasya, melihat-lihat pemandangan sing lugu tur wagu dalam foto itu. Kursi sak set kelir abang, sampai saat ini masih ada. Terlihat legendaris sekali. Cat plitur kayu kursi masih asli. Warna kain yang merah tua juga belum diganti. Hanya busa di dalam kain itulah yang sekarang sudah diganti dengan timbunan sepet (ijuk kelapa) hasil kreasi bapak.
Yang sudah hilang dari kursi sak set itu adalah bantal dengan hiasan kembang-kembang. Saya agak heran juga, ternyata tradisi menaruh bantal di atas kursi yang sekarang menjadi pemandangan biasa, ternyata sudah dipakai ibu saya untuk menghias perabotnya.
Terus klambi yang kami pakai. Kelihatan mewakili zamannya. Zaman tuwo yang secara model sangat lugu. Malah, sing ngadeg kuwi, nganggo klambi gombrong, lungsurane bapak. Tapi meski klambine kebesaran, ia tetap bergaya to…
Nah, yang juga sangat khas karena ndesonya, adalah kulit busik-busik yang dominan. Ubin yang tidak pakai tegel, karena hanya peluran semen, serta kaki yang nyokor tanpa alas kaki. Kok yo nggak sadar gitu loh untuk pakai sandal.
Alhamdulillah meski tidak komplet benar, karena masih ada mbakyu dan adi ragil yang tidak ikut foto, semua masih sehat sampai saat ini. Bapak-ibu juga tetap ngayomi lan ngayemi kami semua. Hanya yang menyedihkan, semua sudah bubar memilih tempat tinggal di mana-mana. Di Jakarta tiga orang, di Bandung satu, di Solo satu, di Surabaya satu.
Untungke, Sedul adik saya yang ragil rela menempuh perjalanan ulang-alik, Suroboyo-ndeso untuk mendampingi bapak-ibu melewati hari-hari sepuhnya. Saya juga hanya bisa sesekali sowan bapak-ibu, untuk sekadar memastikan semua baik-baik saja.
Baik, saya lanjutkan. Lemparkan pandangan ke bagian belakang. Pintu kupu yang menyimpan kamar tidur saya. Itu kamar tidur tengah yang isinya barang aneh-aneh yang sering membuat ibu geleng-geleng kepala. Lalu lihatlah di tembok, ada gantungan baju tua yang dibawa dari rumah Pakwo di Kutoarjo. Di sana, ada tas bapak yang disampirkan, peci Mbah Kasan, dan baju yang biasa dipakai sholat oleh simbah. Di sebelah timurnya, ada pintu yang setengah terbuka. Itu kamarnya kakang nomor loro.
Di pojokan, ada lemari jati yang sangat kokoh. Sampai hari ini, lemari itu juga masih kokoh. Dulu saya sering penekan, memanjat, mencoba menggeser tapi gagal. Atau sesekali, mengeluarkan seluruh isi lemarinya, dan menjadikannya sebagai tempat jetungan.
Nah, di tembok paling ujung, ada foto presiden dan wakil presiden. Waktu itu, presidennya jelas Pak Harto. Wakilnya adalah Pak Adam Malik. Di sebelah selatan foto kepala negara, ada jendela kaca yang sampai saat ini masih ada. Hanya saja, sudah tidak bisa dibuka karena kusennya lapuk dimakan usia.
Saya ingat, mas fotografer yang mengabadikan momentum langka ini adalah tetangga yang kebetulan pulang dari Jakarta. Membawa kamera tua, dan tergopoh-gopoh ingin membuat foto kenangan. Saya lupa nama mas-mas yang moto ini, tapi kalau tidak salah, masih familinya Mbok Citro yang dulu tinggal di sebelah rumah bapak.
Jadi begitulah. Hari ini, 080818. Tanggal delapan bulan delapan tahun dua ribu delapan belas. Saya menulis sebuah era yang memberi kenangan lestari. Yakinlah, suatu saat, entah kapan, ini akan menjadi cerita yang dicari anak-putu.
Engkau tahu poro putu? Tanggal tanggal delan bulan delapan adalah tanggal kelahiran mbah buyutmu. Setidaknya itu yang tertulis secara resmi di KTP.(*)